Tanggal 17 Februari 1902 diusulkan sebagai hari jadi Takengon. Pro kontra bermunculan. Semuda itukah ibu kota Aceh Tengah itu? Lalu bagaimana dengan sejarah panjang Gayo yang sudah jauh lebih dulu ada?Qanun tentang hari jadi Takengon itu kini mulai dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Banyak pihak menyayangkan munculkan tanggal 17 Februari 1902. Tanggal itu malah dinilai sebagai hari kemenangan Belanda di dataran tinggi Gayo.
Berbagai elemen masyarakat di negeri Malem Diwa itu menyampaikan protes terkait hal tersebut. Setidaknya ada enam lembaga yang tidak setuju tanggal 17 Februari 1902 dijadikan sebagau hari jadi Takengon, yakni Universal Development and Research (Unders), Gayo Institute (GI), Gayo Diving Club (GDC), Visit Tanoh Gayo (VTG), Forum Pake Gayo (FPK) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fisipol Universitas Gajah Putih.
Dalam pernyataan sikap keenam lembaga tersebut yang disampaikan Salman Yoga mengatakan bahwa tahun 1902 merupakan tahun keberhasilan pasukan marsose Belanda pimpinan Van Daalen menaklukkan Gayo. “Sebagai orang Gayo kami keberatan jika hari keberhasilan kekejeaman imperialis Belanda membunuh masyarakat Gayo diperingati sebagai hari jadi Kota Takengon,” tegasnya.
Penambalan tanggal tersebut dinilai Salman sebagai bentuk pemangkasan sejarah panjang Gayo. Apalagi munculnya tanggal 17 Februari 1902 dalam usulan hari jadi Kota Takengon hanya dilakukan dengan empat hari diskusi secara tertutup. “Ketakutan DPRK Aceh Tengah untuk menunda rancangan qanun tidak dapat disahkan pada 2010 dengan alasan deadline dan tidak adanya anggaran merupakan sikap apriori yang mencerminkan lemahnya kinerja dewan,” nilai Salman.
Dalam rancangan qanun hari jadi Takengon itu tidak dirincikan secara jelas tentang silsilah dan sejarah Takengon. Tanggal dan tahun yang diajukan dalam eancangan qanun tersebut kata Salman tidak berdasarkan kajian akademik. “Jadi tanggal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Salman.
Salman dan enam lembaga tadi meminta agar penetapan hari jadi Kota Takengon harus dilakukan melalui kajian komprehensif (menyeluruh) dan diseminarkan secara terbuka untuk umum. “Kami meminta kepada dewan untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi masyarakat umum untuk mendiskusikan kembali penetapan hari jadi Takengon. Kami minta hal ini disosialisasikan seluas-luasnya terlebih dahulu,” pinta Salman.
Prof M Din Madjid, Dosen Uviversitas Islam Nasional (UIN) Jakarta menyebutkan tiga aspek penting yang perlu diperhatikan dalam penetapah hari jadi Takengon, yakni aspek legenda, kekerasan (perang) dan aspek administrasi pemerintahan. “Jangan sampai kita terjebak, salah-salah nanti yang kita peringati malah hari kemenangan penjajah di Takengon,” jelas penulis profil Aman Dimod ini.
Menelusuri Sejarah
Untuk memenuhi aspek yang disebutkan Prof M Din Madjid tadi, maka perlu dilihat kembali sejarah lama Gayo, yakni sejarah kerajaan Linge dan Isak yang berbilang abad sudah ada di dataran tinggi Gayo sebelum nama Takengon muncul.
Sejarawan Aceh M Junus Djamil menyebutkan, ketika Kerajaan Sriwijaya menyerang Kerajaan Islam Peureulak pada tahun 375 H (986 M), banyak terjadi pengungsian penduduk, termasuk ulama dan anak-anak Raja Peureulak. Ada yang mengungsi ke pegunungan, ada juga yang lari ke Kerajaan Linge.
Malah menurut M Junus Djamil, orang yang membangun Kerajaan Linge adalah Adi Genali dengan gelar Meurah Lingga, putra dari Meurah Tanjong Krueng Jambo Aye, saudara Raja Peureulak Mahdum Johan Berdaulat Syahir Nuwi.
Ade Genali mempunyai tiga orang putra yaitu: Sibayak Lingga yang mengungsi ke Karo dan menetap di lembah/kaki Gunung Sibayak. Ia gagal mengislamkan orang Karo di sana. Kemudian Meurah Johan yang mengikuti rombongan Syeh Abdullah Kan’an (Syiah Hudan) dari Peureulak ke Indra Purwa untuk melaksanakan dakwah Islamiah. Seorang lagi, Muerah Lingga II yang tingga di Negeri Linge menjadi Raja Linge dan memerintah secara turun temurun.
Bila mengacu pada sejarah ini, maka keberadaan Kerajaan Linge sudah ada sejak tahun 986 Masehi, malah jauh sebelum itu. Hal ini harus menjadi perhatian sebagai salah satu aspek dalam penentuan hari jadi Takengon. Pertanyaannya sekarang bagaimana kaitannya antara pusat Kerajaan Linge tempo dulu dengan pusat ibukota Kabupaten Aceh Tengah sekarang; Takengon.
Takengon Masa Kolonial
Pada masa kolonial, daerah Aceh Tengah disebuts ebagai kawasan Rejer dan Keujruen. Sebutan ini digunakan untuk mengatur organisasi/persekutuan hukum yang relatif besar seperti Kerajaan Linge.
Reje dan Keujruen dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh suatu majelis penasehat yang tediri dari unsur cerdik pandai, alim ulama dan orang-orang terkemuka dalam masyarakat Penghulu (reje) dibantu oleh petue, imem dan rakyat disebut dengan istilah serak opat tersebut dibantu pula oleh beberapa orang disebut dengan hariye.
Reje berfungsi sebagai musuket sipit, petue berfungsi sebagai musidik sasat, imem berfungsi sebagai muperlu sunat dan rakyat berfungsi sebagai genap mufakat. pemerintahan dilaksanakan secara demokratis dengan semboya : sudere genap mufakat (masyarwarah), Urang tue musidik safat (kebijaksanaan kaum tua), pegawe muperlu sunet (Urusan hukum Agama), penghulu musuket sipet (Raja menjalankan Peraturan yang baik dan adil )
Pada tahun 1956, secara hukum Kabupaten Aceh Tengah dibentuk melalui Undang-Undang nomor 7 tahun 1956. Walaupun demikian Aceh Tengah telah eksis sejak zaman pendudukan Belanda (1904-1942). Pada masa itu wilayah takengon (onder afdeeling Nordkus Atjeh ).
Onder afdeeling Takengon yang brribu negeri takengon terbagi atas empat negeri (landscape) yaitu : Lanscap Bukit beribukota Mampak, Lanscap Linge beriibukota Isag, Lanscap Syiah Utama Beribukota Nosar, dan Lanscap Cik Beribukota Kemili.
Setelah berakhirnya masa penduduk Belanda diteruskan dengan masa pendudukan Jepang (1942-1945 ). Pada masa pendudukan Jepang pembagian wilayah tidak berubah. Jepang hanya mengganti nama seperti onder Afdeeling diganti menjadi Gun ( dipimpin oleh pribumi yang disebut Gunco), Lanscap diganti menjadi sun (dipimpin oleh pribumi yang disebut Sunco)
Sebutan gun dan sun kembali diubah namanya pada masa Kemerdekaan (1945) yaitu menjadi wilayah, Selanjutnya berubah lagi menjadi kabupaten yang terdiri atas beberapa kewedanan dan sun menjadi negeri, selanjutnya berubah lagi menjadi kecamatan. Pada saat itu, Kabupaten Aceh tengah terdiri atas tiga kewedanan yaitu: kewedanan Takengon , Kewedanan Gayo Lues dan Kewedanan Tanah Alas.
Pada era kemerdekaan karena hubungan tranportasi antara kewedanan Takengon dengan Kewedanan lainnya ditempuh melalui sumatera Utara. Disamping karena luas wilayah, sulitnya Tranportasi dan aspirasi masyarakat, akhirnya Kabupaten Aceh Tengah dipecah menjadi dua bagian pada tahun 1974, melalui undang-undang nomor 4 tahun 1974. Kewedanan Gayo Lues dan Tanah Alas diubah menjadi Kabupaten Aceh Tenggara.
Penaklukan Van Daalen
Pada masa penaklukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ke nusantara, termasuk Aceh, Belanda kemudian melakukan ekspansi sampai dataran tinggi Gayo. Setelah Sultan Muhammad Daudsyah menyerah pada Belanda pada tahun 1903, maka Gubernur Militer Aceh Van Heutsz memutuskan untuk menaklukkan seluruh Aceh. Daerah yang belum takluk waktu itu adalah Gayo Lues dan Alas.
Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan daerah tersebut. Setelah segala sesuatunya dianggap rampung maka Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo Lues pada tahu 1904.
Setelah mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, akhirnya Van Daalen memasuki daerah Gayo Lues disebuah kampung terpencil yaitu kampung Kela (9 Maret 1904). Dari sinilah daerah Gayo lues ditaklukkan benteng demi benteng. Dimulai dengan menaklukkan benteng pasir (16 Maret 1904), Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904).
Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya dibunuh. Menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (pengarang Belanda) hampir 4000 rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen Manyak Tri, Dimus dan lain-lain.
Setelah menaklukkan Gayo Lues pasukan Belanda kemudian menuju Tanah Alas. Mereka baru kembali lagi ke Gayo Lues pada tahun 1905 untuk menyusun pemerintahan. Belanda kemudian membentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder Afdeling (Kabupaten).
Onder Afdeling Gayo lues membawahi tiga daerah yang disebut Landchap (Kecamatan), yaitu: Landchaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman Safii. Landchap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan. Landchap Bambel dikepalai oleh Syahidin.
Sejak 1905 – 1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh Muhammad Din, pemberontakan gagal. Muhammad Din ditangkap dan dibuang ke Boven Digul (Irian Jaya) sedangkan kawan-kawannya dibuang ke Cilacap, Sukamiskin dan Madura.
Setelah Belanda kalah dalam perang dunia II, Jepang masuk ke Indonesia. Pada tahun 1942 – 1945 Gayo Lues dijadikan Jepang sebagai salah satu daerah pertahanan dan pemusatan militer di Aceh. Pemuda-pemuda Gayo Lues dilatih kemiliteran dalam jumlah yang banyak diharapkan pemuda-pemuda ini kelak sebagai pendukung militer Jepang.
Pemuda-pemuda hasil didikan Jepang antara lain adalah Muhammad Din, Bahrin, Zakaria, Maaris, Maat, Jalim Umar, Abdurrahim, Asa, Dersat, Hasan Sulaiman, Ahmad Aman Bedus, Hasan Tejem dan lain-lain.
Kisah penaklukkan Van Daalen itu menjadi sebuah catatan tersendiri bagi masyarakat Gayo Lues. Malah penulis Belanda, H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” menggambarkan penaklukan tersebut sebagai sebuah ekspansi yang mengerikan. Ia menyebutnya hantu-hantu di blang untuk ketangkasan pejuang Gayo Lues menyerang Belanda secara frontal dan tiba-tiba.
Perlu Kajian Kembali
Menelisik fragmentaria sejarah di dataran Tinggi Gayo tersebut, terlalu naif rasanya bila hari jadi Takengon ditetapkan pada 17 Februari 1902. Alasannya, tahun tersebut merupakan era keberhasilan Belanda menaklukan satu per satu wilayah di dataran tinggi Gayo.
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah harus membuat kajian kembali untuk menentukan hari jadi yang cocok untuk Takengon. Bila tidak, maka tak tertutup kemungkinan kelak rakyat Gayo di Takengon dan sekitarnya akan merayakan hari keberhasilan penjajah membunuh masyarakat Gayo sebagai hari jadi Kota Takengon.[]
Belum ada tanggapan untuk "Menyoal Hari Jadi takengon"
Post a Comment