Kata éh malam kini kerap terdengar dalam canda anak muda bahkan orang tua. Apa Kapluk dengan lakon Bang Joni telah menjadikan dua patah kata itu popular sebagai olok-olok untuk menyindir seseorang yang lalai.
Guyonan dalam serial komedi Preman Gampong bertambah hidup ketika disambung dengan pat-pat na panyot na kah, sebuah kalimat kritis tapi kocak yang dituju pada mereka-mereka yang suka begadang, hingga alpa pada kewajiban.
Menulis éh malam, adalah membahas Preman Gampong. Sebuah daya tarik diluar kekocakan juga dihadirkan sosok Haji Uma yang berlaku berang, melalui syair-syair berisi hadih maja yang disampaikannya. Hadi maja sebagai ruhnya budaya Aceh kembali dihadirkan. Telisiklah ucapan lelaki dengan lakon tempramen itu pada dua syair ini:
Sigeundot rusa keumang ‘oh beungoh
Sigeudot tanoh keumang ‘oh seunja
Lawan ngon musoh kabeh kutu’oh
Adak kalop lam tanoh teutap kumita
Ranub bineh gle meuputie karang
Ranub bineh blang meuputie tangke
Utang ngon kaoy peuglah beurijang
Mangat glah ngon tuhan ‘oh uroe page
Masuknya deretan syair-syair khas Aceh dengan sisipan hadih maja, melalui dialog-dialog keras, konyol dan menghibur ini, membuat Preman Gampong menjadi lakon yang lepas dari menertawai diri sendiri.
Berbeda pada lakon sebelumnya yang dimainkan Joni si Kapluk dalam sandiwara radio diawal tahun 2000. Mantan pemain sandiwara dan penyiar radio Megaphon Sigli ini, sebelumnya hanya bermain pada kekonyolan tanpa hadih maja. Malah dalam sandiara radio bertajuk Apa Kapluk, karakter yang kini dikenal sebagai Bang Joni itu memainkan dua peran sekaligus: Kapluk dan Cut Patimah Cret.
Sayangnya, beberapa nama yang sempat muncul dengan kekocakannya dalam Apa Kapluk, hilang dalam Preman Gampong. Entah pecah kongsi atau apalah namanya, dulu dalam Apa Kapluk kita mengenan nama-nama Cut Patimah Cret, Mando Gapi, Husein Corong dan Sikuprak yang berlakon dengan kekonyolannya masing-masing.
Pada awal tahun 2000 di jagad komedi Aceh juga muncul Apa Lahu melalui komedi bertajuk Apa Lahu Panyang Lhee Mete. Dalam komedi ini, Leman Mentri juga melakoni beragam kekonyolan tanpa hadih maja.
Kemudian ada lagi Apa Lambak dan Apa Gense. Keduanya mencoba memasukkan kembali hadih maja dan pantun pantun Aceh sebagai selingan lawakan. Tapi sayannya, lawakan yang dihadirkan lebih kepada upaya menyerang lawan melalui pantun-pantun konyolnya. Malah kadang ada yang kotor.
Menurunut lebih jauh. Hadih maja sebagai ruhnya komedi dan sandiwara Aceh pernah dengan sangat memikat hadir dalam sandiwara radio Apa Kaoey ngon Asmi Mara. Kisah remaja dirundung cinta. Dengan hadih maja dan pantun-pantunnya Apa Kaoey berhasil memikat hati Asmimara. Hingga janji melalui pantun dan teka teki melalui hiem bemunculan. Sebut saja janji berisi imbalan bila Apa Kaoey mampu mengalahkan Asmimara dengan pantun-pantunnya.
koh lipah pula lipah,
pucok jih reubah u dalam paya,
meunyoe hiem nyoe jeut neupeuglah,
jadeh meunikah geutanyoe dua.
Janji yang diakhir cerita harus ditunaikan Asmimara karena keberhasilan Apa Kaoey menjawabnya. Hadirnya hadih maja, hiem, panton dan syair-syair Aceh itulah yang membuat kekocakan sandiwara dan komedia Aceh diawal tahun 1980-an benar-benar hidup. Diantaranya ada sandiwara radio Agam keumawe dengan aktor Udin Pelor, serta Nyak Amit dalam sandiwara Buluh Perindu di Gunong Geureudong.
Kini upaya menghadirkan ke-Aceh-an dalam komedi dan sandiwara Aceh mulai dilakoni Haji Uma, semoga itu bertahan dan tentu akan lebih semarak bila lakon seperti Cut Patimah Cret, Asmimara, serta Maruhoi, si Kuprak, Husen Corong dan lainnya dihadirkan kembali.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Éh Malam Mencari Cut Patimah Cret"
Post a Comment