ACEH justru diperhatikan ketika memberontak, saatnya berhenti menjadi anak baik.
Memberontak bukan berarti kembali mengangkat senjata, tapi bisa dalam bentuk lain, menolak kebiasaan, untuk sesuatu yang luar biasa, karena Jakarta masih terlalu mencurigai Aceh. Aceh perlu memberi pelajaran pada republik, bagaimana sebuah janji harus ditunaikan. Sejarah membuktikan ketika Aceh begitu manut pada Jakarta (pusat), hak-hak Aceh terkebiri. Kini sejarah sepertinya berulang, persoalan lambang dan bendera Aceh masih saja digantung oleh Jakarta. Padahal, lambang dan bendera Aceh merupakan mahar perdamaian yang harus ditunaikan republik terhadap Aceh.
Kita patut memberi apresiasi pada sikap tegas Gubernur Zaini Abdullah yang menolak perpanjangan masa cooling down jika pemerintah pusat tidak menyelesaikan tiga turunan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Ketiga turunan UUPA yang masih menggantung itu adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, RPP pengelolaan bersama minyak dan gas bumi, serta Rancangan Peraturan Presiden tentang Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat daerah Aceh dan kabupaten/kota.
Ketiga turunan UUPA itu sudah lama selesai diharmonisasi oleh tim bersama yang dibentuk Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun Jakarta nampaknya belum ihklas untuk menetapkannya menjadi Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Sebut saja dalam bidang pertanahan misalnya, dari 21 urusan pertanahan yang menjadi kewenangan Aceh, hanya disetujui sembilan, ditambah HGU dan HGB. Jakarta masih terlalu curiga terhadap Aceh. Pihak Badan Pertanahan Nasional berpendapat, jika semua urusan pertanahan diberikan kepada Aceh, maka syarat untuk berdirinya sebuah negara sudah terpenuhi. Bukankan ini sebuah kecurigaan yang luar biasa?
Pendapat seperti itu disampaikan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Dr Wahiduddin Adam SH MA pada rapat pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh, Selasa, 7 Januari 2014 lalu di ruang Rapat Soepomo Kementrian Hukum dan HAM.
Kecurigaan Wahiduddin ini sangat tidak beralasan, karena UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) itu merupakan produk hukum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, bukan produk masyarakat Aceh.
Bagi Pemerintah Aceh, sesuai dengan UUPA, seluruh bidang pertanahan harus diserahkan kepada Aceh, Pemerintah Pusat hanya menetapkan kebijakan, norma, standar dan prosedur, serta melakukan pembinaan dan pengawasan.
Begitu juga dengan RPP Pengelolaan Bersama Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Meski secara teknis sudah disetujui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kendalanya muncul di Kementerian Keuangan. Lagi-lagi Jakarta memainkan trik lepas kepala injak ekornya. Lolos di satu kementrian, diganjal di kementrian lain.
Karena itu, agar Aceh benar-benar memiliki kewenangan eksploitasi Migas dari 12 mil hingga 200 mil dengan persentase bagi ahsil 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Aceh harus tegas. Ultimatum yang disampaikan Gubernur Zaini Abdullah saya rasa sudah pada tempatnya.
Bila hak-hak Aceh itu sudah diberikan, maka kedua pihak, yakni Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat tinggal membentuk Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) sebagai lembaga bersama yang akan mengurus hal tersebut.
Pemerintah Aceh tidak boleh lagi larut dalam permainan tarik ulur Jakarta. Cooling down sudah memadai. Apapun apologi Jakarta harus ditolak, karena memberikan hak-hak Aceh merupakan bagian dari merawat perdamaian.
Sekali lagi kita harus mendukung sikap tegas Gubernur Zaini Abdullah. Jakarta tak perlu lagi mengulur-ngulur waktu memberikan hak Aceh tanpa alasan yang jelas. Kita masih ingat pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Pekan Kebudyaan Aceh (PKA) VI, September 2013 lalu. Ia menyatakan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan Aceh sebelum 2013 berakhir.
Kenyataannya, hingga medio 2014, janji itu belum dipenuhi. Dalam hal ini kita melihat, masalahnya bukan pada SBY, tapi jajaran di bawahnya yang mempermainkan persoalan Aceh hingga sekarang. Jadi, sudah saatnya Pemerintah Aceh berhenti menjadi anak baik, apa pun apologi Jakarta harus ditolak, demi hak-hak yang masih terkebiri. Katrèp masa kamoë préh, bèk tapeukabèh watèe trôk teuka.
[Iskandar Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Menolak Apologi Jakarta"
Post a Comment