Ketika jalur hidup mandeg di persimpangan, kita butuh pengkhianatan untuk berubah. Kita bebas untuk menjadi yang tidak kita inginkan, karena kita adalah tuan bagi diri sendiri.
Tulisan ini lahir dari ruang pengadilan. Suatu siang kawan saya seorang pengacara merasa telah mengkhianati agama tuhan karena membebaskan seorang penzina dari hukuman negara. Ia yang lihai memainkan pledoi di ruang sidang, berhasil menyeret si perempuan untuk mengakui menikmati perkosaan yang dialaminya. Jadilah hubungan terlarang itu diklaim dilakukan atas dasar suka sama suka. Lelaki si terdakwa pun bebas. Kebebasan yang juga ditopang oleh kelihaian kawan pengacara tadi berdiplomasi dengan hakim.
Di luar ruang sidang, kawan saya itu menepuk jidatnya. Ia seakan menyesal telah membebaskan seorang penzina dari hukuman negara---tapi tidak untuk hukuman tuhan. Sebagai pengacara itu merupakan kewajiban dia terhadap klienya, namun sebagai orang beragama ia paham betul bahwa si penzina itu harus dihukum.
Dalam kasus ini profesionalitas mampu menang atas norma. Simaklah, karena ingin menunjukkan profesionalnya dalam beracara di pengadilan. Kawan saya itu berhasil menguyah pasal-pasal KUHPidana yang dijerat oleh jaksa penuntut umum terhadap kliennya. Pasal-pasal yang kemudian dimuntahkannya di pengadilan dengan bahasa yang retorik hingga hakim terpana.
Inilah kunci katanya, siapa yang mampu mempengaruhi opini hakim akan menang di pengadilan. Sebuah pertanyaan pun muncul di benak saya, apakah orang ke pengadilan itu untuk mencari keadilan atau kemenangan? Kalau ingin menang seperi penzina yang saya sebutkan, tentu rasa keadilan bagi si korban sudah tercoreng.
Sikap mencoreng keadilan itu diakui oleh kawan saya itu. Ia pun kembali pada penghambaannya pada tuhan, mengharap apa yang telah dilakukannya dimaafkan. Ketika saya tanyakan pendapatnya, ia menjawab, di ruang sidang ia harus memperjuangkan kebebasan bagi klien yang telah membayar jasanya. Meski kadang kala harus menginjak hukum tuhan. Tapi di luar sidang ia tetap seorang hamba yang patuh.
Saya pun paham, kalau dia telah berkhianat pada dirinya karena ingin menunjukkan sikap profesional. Ya. Dengan jujur ia mengaku telah menginjak hukum tuhan dengan memainkan hukum dunia, hingga si penzina bebas. Kepada saya ia berani menunjuk mukanya sendiri sebagai pengkhianat terhadap norma.
Dalam kasus ini, ia merupakan orang pintar yang mengkhinati nurani, kemudian menunjuk mukanya sendiri sebagai pengkhianat atas dalih tuntutan profesi. Saya kemudian teringat pada apa yang pernah ditulis penyair Roy Campbell (1901-1956) “Dari sekian banyak orang pintar, aku paling bahagia melihat diri sendiri. Suaraku adalah satu-satunya yang aku cermati. Dan wajah satu-satunya yang aku cermati adalah wajahku sendiri.”
Kita memang bebas untuk melakukan apa pun atas diri kita. Setiap kebebasan mepunyai kemungkinan untuk menyelamatkan diri setelah ia tertindas. Setiap orang dapat ditindas hidupnya, tapi tidak untuk kebebasannya. Bahkan ia bebas untuk mengkhianati nuraninya, seperti apa yang telah dilakukan kawan saya di pengadilan.
Kita memang sering berada di persimpangan, antara meneruskan atau mengakhiri sebuah kelaziman. Saat itu kita bebas untuk tunduk atau murtat terhadap hati nurani sendiri. Bagi saya, lebih baik tidak kehilangan nilai-nilai kebebasan meskipun tidak sukses, dari pada sukses tapi kehilangan kebebasan.
Friedrich Wilhelm Nietzsche pilsuf Frusia dalam karyanya “Ecce Homo” berkata, how one becomes what one is. Bagaimana orang menjadi apa adanya dia. Tapi bagi saya lebih dari itu, bagaimana kita mengubah sifat pengikut untuk “murtad” tanpa mengkhianati diri sendiri.[*]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Mengkhianati Diri"
Post a Comment