Pemberian remunasi bagi pejabat belum mampu mencegah korupsi. Saban tahun belasan triliun uang negara dihabiskan untuk tambahan gaji pegawai. Kasus Gayus Tambunan yang menggelapkan pajak Rp25 miliar membuktikan hal itu.
Remunasi merupakan gaji yang ditetapkan dengan peraturan tertentu sebagai imbalan balik pekerjaan rutin di luar gaji pokok. Pemberian remunasi diharapkan akan memberikan kesejahteraan bagi pegawai, sasarannya tambahan gaji itu juga untuk mencegah korupsi. Namun ternyata gagal.
Kasus Gayus memberi pelajaran bahwa pengawasan internal saja tidak cukup dalam sebuah departemen, tapi harus ada pengawasan dari luar. Ambil contoh di Singapura misalnya, untuk mencegah korupsi dana publik, negeri singa yang tak memiliki singa itu punya Corruption Practices Investigation Bureau, Malaysia juga punya Badan Pencegah Rasuah. Sementara di Hongkong ada Independent Commission Against Corruption. Kemudian Filipina memiliki Bureau of Internal Revenue, yang melakukan investigasi tentang kecurigaan adanya korupsi di lembaga-lembaga tertentu.
Investigas yang dilakukan mereka juga mencakup praktik pencucian uang dan penggelapan pajak. Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari apa yang dipraktekan di negara-negara tetangga tersebut.
Pemberian remunasi tidak salah, karena ia merupakan salah satu syarat untuk berjalannya reformasi birokrasi. Tahun ini pemerintah memberikan remunasi pada Departemen Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk Departemen Keuangan saja Rp4,17 triliun anggaran dihabiskan per tahun untuk gaji tambahan pegawai (remunasi).
Pemerintah juga memberikan remunasi pada pegawai di Kejaksaan, Kepolisian, BPKP, BKN, dan TNI. Bayangkan berapa puluh triliun anggaran negara yang akan dihabiskan hanya untuk “bonus” di luar gaji pokok tersebut.
Remunasi diberikan berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 19/VII/2009, tanggal 27 Juli 2009 tentang perbaikan tunjangan remunasi Criminal Justice Sistem (CJS) Penegakan Hukum. Remunasi itu naik per satu Januari 2010 berdasarkan tingkatan dan golongan/pangkat pegawai. Untuk golongan I remunasi diberikan Rp3 juta, golongan II Rp5 juta, golongan III a-b Rp7,5 juta, golongan III c-dengan Rp8,5 juta, golongan IV a-b Rp9,5 juta, dan golongan IV c-e Rp12,5 juta.
Pemberian remunasi sebesar itu harus diimbangi dengan peningkatan kualitas kerja pejabat yang bersangkutan. Reformasi sistem remunasi harus dilakukan. Penetapan penghasilan pegawai dilakukan berdasarkan ‘harga’ jabatan, adil dalam artian beban tugas dan jabatan dibayar sama dengan ketrampilan dan pengetahuan.
Selain itu juga harus kompetitif antara gaji pegawai negeri dengan gaji swasta. Namun lebih penting dari itu adalah transparansi. Artinya, PNS hanya mendapatkan penghasilan dari gaji dan tunjangan resmi. Pendapatan di luar itu patut dipertanyakan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2007, tentang rencana pembangunan nasional jangka pangjang dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7/2008, tentang reformasi birokrasi, kebijakan remunasi diperuntukkan bagai seluruh pegawai negeri di lingkungan pemerintahan.
Meski demikian pemberian remunasi diberikan dalam tiga prioritas pegawai. Prioritas pertama adalah instansi penegak hukum, pengelola keuangan negara, pemeriksa dan pengawas keuangan negara, serta lembaga penertiban aparatur negara.
Prioritas kedua kementrian dan lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasilan penerimaan negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung, termasuk pemerintah daerah. Sementara prioritas ketiga adalah lembaga-lembaga diluar dua prioritas tadi.
Alasan lain pemberian remunasi juga merujuk pada konvensi International Labour Oeganization (ILO) nomor 100 yang diretifikasi tahun 1999. Dalam konvensi organisasi buruh dunia tersebut disebukan “Equal remuneration for jobs of equal value” pekerjaan yang sama nilai atau bobotnya harus mendapat imbalan yang sama.
Pertanyaannya sekarang, setelah pendapatan tambahan itu diberikan di luar gaji pokok, mengapa korupsi masih saja menggurita di lembaga pemerintah. Jawabannya, untuk mencegah korupsi tidak efektif hanya dengan peningkatan pendapatan, tapi harus ada seperangkat nilai dan kaidah kejujuran dalam masyarakat. Transparency International (TI) sebuah LSM yang berpusat di Berlin menyebutnya sebagai sistem integritas nasional. Tanpa adanya sistem tersebut, seseorang akan mudah melakukan korupsi tanpa pernah merasa bersalah telah memakan uang rakyat.
Pencegahan korupsi akan sangat bergantung pada adaanya masyarakat yang jujur. Tapi pertanyaannya sekarang, bagaimana mengembalikan sistem yang telah dibaluti ketidakjujuran menjadi jujur kembali? Tentu itu bukanlah hal yang mudah, karena selama ini kejujuran sering terasing di luar sistem.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Remunasi"
Post a Comment