Carut marut alias kacau, begitulah pengelolaan dana publik di Aceh. Simaklah. APBD saja belum diserahkan ke pusat, tim asistensi gubernur bidang korupsi menemukan ketidakberesan penggunaan anggaran di dinas dan badan pemerintahan.
Kemarin, Selasa (1/4) tim yang berjumlah lima orang itu melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Unit Pelaksana Tekhnis (UPT) Panti Sosial Jroh Na Guna. Beragam dugaan penyimpangan keuangan pun ditemukan. Diantaranya, proyek fiktif pengadaan buku Rp 20 juta, pengadaan obat Rp12 juta, serta pengadaan alat pembersih Rp30 juta.
Kemarinnya lagi, Senin (31/3) dugaan penyimpangan pengunaan angaran juga ditemukan di Dinas Pertanian. Modusnya, pemalsuan tanda tangan untuk honor Rosmayana, Kasubdin UPPK Bidang Produksi dan Sekda Provinsi NAD, Husni bahri TOB selaku tim Pembina dalam pengadaan logistik kedelai.
Ternyata, anggaran yang diplot dengan yang disalurkan tidak pada tempatnya. Inilah sebuah realita bahwa pengelolaan anggaran di Aceh masih kacau. Pada tahun 1991 lalu, PJ O’Rouker dalam Parliament of Whores menyentil hal ini dengan mengatakan, memberi uang dan kekuasaan kepada pejabat, sama halnya dengan memberi wiski dan kunci mobil pada seorang remaja.
Mengemudi dalam keadaan mabuk tentu fatal akibatnya. Begitu juga dengan kepala dinas/badan di Aceh yang memabuk-mabukan diri dengan menggunakan anggaran tidak pada peruntukan yang ditetapkan. Bila kepala dinas/badan sudah mabuk, yang menerima akibatnya adalah publik, pemilik anggaran selaku penumpang di bus yang disopiri sang kepala dinas/badan.
Kacaunya pengelolaan anggaran tak lepas dari nafsu yang mempengaruhi kekuasaan sang kepala. Presiden Amerika ke dua, Jhon Adam mengatakan, manusia adalah monster yang serkah ketika nafsu gagal dijaga.
Untuk mengembalikan kekacauan pengelolaan angaran menjadi tidak kacau, butuh kerja keras semua pihak. Kerja keras untuk berprilaku jujur, kerja keras untuk mengelola anngaran dengan benar. Ya dengan benar. Tapi dengen kebenaran yang benar-benar benar diatas kebenaran itu sendiri, karena di zaman modoren ini, banyak kebenaran telah tersusupi.
Ilustrasinya, penggunaan anggaran bisa saja dibelokkan ke arah lain, melalui celah aturan lain. Itu memang dibenarkan, tapi menjadi tidak benar karena telah beralih dari pos yang sebenarnya.
Kerja untuk menjadi benar itu harus diawali dengan adanya etos dari pejabat selaku pengelola anggaran. Untuk memompa etos itu, tentu para kepala dinas/badan telah digaji oleh negara dengan dana dari publik.
Tapi etos tidak selamanya muncul dari materi. Dari mitos pun ai bisa saja muncul. Sebagai contoh, orang Yahudi mengatakan, we are the chosen people. Dari mitos itulah mereka bangkit, karena menganggap dirinya sebagai orang-orang pilihan.
Sementara orang Jerman mengatakan, Deutc uberaless, ras Aria (rasnya bangsa Jerman) adalah ras tertinggi. Amerika lain lagi, mereka menganut etos nasionalisme yang sangat besar pengaruhnya dalam pembangunan negara tersebut menjadi adi daya. Falsafah mereka dalam membangun Amerika adalah, We keep America on top of the word.
Lalu Aceh. Apa yang Aceh punya? Aceh punya lebih dari itu. Berbagai ungkapan yang memompa semangat untuk maju berdiri di atas kaki sendiri telah diwarisi oleh endatu dalam hadih maja. Segai contoh, ada ungkapan tapak jak urat meunari, na tajak na raseuki. Ada lagi meugrak jaroë meu ék gigoë.
Kedua ungkapan itu mempunyai makna agar manusia tidak berpangku tangan, tapi harus berusaha untuk menjadi yang lebih baik. Sekarang tergantung pada kesadaran pengelola anggaran untuk dimana memulainya. Atau jangan-jangan, Yahudi lebih mampu menerapkan kebenaran yang benar-benar di atas kebenaran itu sendiri, tinimbang kita yang mengaku diri sebagai orang-orang yang bersyariat. Entahlah. ***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kacau"
Post a Comment