Hampir saban hari ada saja pejabat yang diperiksa kejaksaan. Hal ini seakan mengabsahkan bahwa birokrasi kita sudah berlepotan. Korupsi menjadi penyakit yang kronis. Sayang, untuk mengobatinya, tangan hukum selaku dokter, hanya mampu mengetuk palu vonis sekedar memberi “aspirin” sebagai obat penenang, bukan mengamputasinya.
Inilah resikonya ketika hukum disenggamai politik. Vonis yang lahir tetap saja layu. Bahkan menjadi tak berarti ketika diujungnya dikunci dengan kalimat tanpa perintah masuk. Jadilah koruptor tetap melenggan di luar penjara. Sementara penegak hukum larut dalam orgasme dari senggama politik tadi.
Orgasmen senggama politik ini terjadi karena masih saja ada jurang yang sangat terjal antara kata dan perbuatan para pemimpin kita. Ketika nafsu gagal dijaga, maka kehancuranlah imbasnya.
Hal itu kini mulai singgah pada Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Lhokseumawe, Tun Azhari. Ia diperiksa sebagai saksi oleh Penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, atas dugaan korupsi biaya perjalanan dinas dalam Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) unit kerja DPRK senilai Rp350 dari dana APBD tahun 2003.
Selain Tun Azhari, dua anggota DPRD Lhokseumawe, yaitu Sofyan Abdullah dan Abdurrahman, juga diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut. Pemeriksaan itu sudah berlangsung sejak Selasa (25/3) hingga Jumat (28/3) kemarin.
Pertanyaannya, mengapa begitu mudah hal itu terjadi. Sementara diketahui, para pejabat kita merupakan orang-orang yang beragama. Kurangkah pemahaman agama dibenak pejabat kita? Menjawab pertanyaan ini, Emile Durkheim dalam buku The Elementary Forms of Religion Life (1961) mengatakan, agama hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas suatu masyarakat dibawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum. Dan disinilah nafsu dijaga.
Tentu saja, kita berharap. Kasus ini benar-benar diselesaikan secara hukum dengan tetap menjunjung tinggi azas pra duga tak bersalah. Namun mata hukum tidak boleh lengah mengupas fakta per fakta. Aoalagi harus orgasme dalam senggama poilitik. Bila senggama ini terjadi maka embrionya adalah ketidak percayaan publik terhadap hukum dan birokrasi. Saatnya rakyat menggugat atas namanya sendiri, bila hukum dipincangi orgasme politik.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Birokrasi"
Post a Comment