Abadi, satu kata yang bermakna tak usang. Ia tetap adanya. Kali ini, kata abadi kembali jadi alasan untuk mensahihkan sebuah perjalanan dengan menggunakan dana publik.
Tim Panitia Khusus (Pansus) IX, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh (DPRA), berhasrat untuk jalan-jalan dengan kedok study banding pengelolaan dana abadi pendidikan ke Malang, Jawa Tengah dan Yogjakarta.
Dana yang dihabiskan untuk tur itu seyogianya cukup untuk mengganti mobiler sebuah sekolah yang rusak. Kalau alasannya untuk mencari masukan, lalu dimana letak intelektual dewan, bila semuanya harus mengambil contoh ke daerah lain.
Alokasi dana pendidikan Rp 700 milyar pada tahun 2004 lalu setidaknya bisa dijadikan acuan. Bagaimanan ketidakberesan pengelolanya harus dibereskan sekarang. Menjadikan kasus yang ada di daerah sendiri sebagai masukan, tentu lebih bermakna ketimbang pelesiran ke Pulau Jawa.
Kalau segala sesuatu harus berkiblat ke luar, ini mensahihkan bahwa intelektual dewan kita masih bengkok. Atau pura-pura bengkok untuk mensahihkan penggunaan anggaran tur bersama tersebut.
Bila ini yang terjadi, maka dewan telah berkhianat pada fungsinya selaku wakil rakyat. Ini yang jamak disebut pengkhianatan kaum intelektual. Julien Benda dalam La Trabision des Clersc menyentil hal seperti itu sebagai bentuk pengkhianatan terhadap fungsi intelektual.
Aceh memiliki banyak pemikir, yang masih mampu memikirkan pengembangan pendidikan. Memanggil mereka untuk membicarakan pengelolaan dana abadi pendidikan, tentu lebih bermakna ketimbang study banding. Ada ide-ide baru yang akan muncul.
Atau jangan-jangan, ide-ide dari para akademisi sudah dikesampingkan. Dewan membelakanginya demi sebuah study banding. Bila ini yang berlaku, maka sahihlah apa yang pernah dikatakan Grigory Pomerant. Dalam suratnya kepada filosof Liffsjits, kritikus terkenal Rusia itu menulis, “Ambillah satu ide dan injak-injaklah ide yang lain. Itu sudah cukup untuk kehancuran budaya kita.” ***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Abadi"
Post a Comment