“Comes ils tombent bien…en is er één volk op deze aarde dat de ondergang dezer heroike figuren nien met diepe vereering zou schrijven in het boek zijner historie?”“Dan adakah suatu bangsa di bumi ini yang tidak akan menulis tentang gugurnya para tokoh heroik ini dengan rasa penghargaan yang sedemikian tinggi di dalam buku sejarahnya?”
Pertanyaan itu diungkapkan H C Zentgraaff, mantan serdadu Belanda yang pernah berperang di Aceh, yang ketika pensiun beralih menjadi wartawan perang dengan jabatan sebgai redaktur untuk koran Java Bode terbitan Batavia (kini Jakarta-red).
Zentgraaff mengungkapkan hal itu ketika menulis tentang potret heroisme seorang pejuang Aceh, Teungku di Barat. Sejak 1903 ulama besar Aceh ini muncul secara menonjol dalam peperangan menentang Belanda. Karena itu pula Belanda memburu untuk menangkapnya hidup atau mati.
Sembilan tahun kemudian, tepatnya 22 Februari 1912 ajal pula yang menjemputnya. Pasukan marsose dibawah pimpinan Letnan Behrens berhasil mengepungnya, kontak senjata pun terjadi. Lengan kanan Teungku di Barat tertembus peluru. Dengan serta merta karaben yang tak lagi mungkin dipegangnya, diserahkan kepada istrinya, sementara tangan kirinya mencabut rencong.
Setelah menerima karaben itu, istrinya berdiri di depan untuk melindungi Teungku di Barat yang luka akibat tembakan. Dalam pertempuran sengit itu, peluru marsose kemudian menerpa dada istri Teungku di Barat, keduanya pun tewas. “Beginilah berakhirnya hidup Teungku di Barat dan ulama terkemuka lainnya di Aceh yang lebih suka memilih syahid dari pada mèl (menyerah-red) kepada Belanda,” tulis Zentgraaff.
Pujian Zentgraaff terhadap para pejuang Aceh itu sangatlah beralasan, sejak menginjakkan kakinya di daratan Aceh pada 26 Maret 1873, sampai mengangkat kakinya dari Aceh karena kedatangan Jepang, ribuan penyerangan dilakukan pasukan Aceh terhadap Belanda.
Bahkan sampai tahun 1903, ketika perang dinyatakan telah diakhiri dengan suatu perdamaian resmi, puluhan bahkan ratusan serangan masih dilakukan rakyat Aceh terhadap Belanda. Menurut catatan Belanda dalam buku Gedenboek der Marechausses jumlah serangan terhadap Belanda setelah tahun 1903 tidak dapat dihitung, sangking banyaknya serangan itu, baik yang dilakukan per kelompok maupun perorangan.
Menariknya, jumlah serangan perorangan terhadap Belanda menurut catatan dalam buku itu, sejak tahun 1910 sampai 1937 tercatat 161 kali. Serangan perorangan itu sangat ditakuti oleh Belanda, karena itu pula keluarga Belanda tidak pernah merasa nyaman tinggal di Aceh. Di sisi lain, selain serangan-serangan perseorangan, kelompok-kelompok pejuang Aceh juga terus melakukan gerilya.
Beberapa pimpinan gerilyawan itu antara lain: Teuku Raja Tampo. Ia bersama kelompoknya selama puluhan tahun terus melakukan serangan-serangan terhadap Belanda di Meulaboh, Seunagan, Tripa, Seunaan, Kuala Batee dan Blang Pidie, yang berlangsung sejak 1907 sampai 1940.
Di tempat lain ada Teungku Chik Mayet dan Teungku di Buket putra dari ulama terkenal Teungku Chik Saman di Tiro dan cucu Teungku Chik Maat. Pada 5 September 1910 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Alue Semie, Teungki Chik Mayet di Tiro gugur. Sementara Teungku di Buket tewas dalam perang di Gunung Meureuseu, Tangse pada 2 Desember 1911.
Habib Jureng, pimpinan gerilyawan lainnya, gugur pada Juli 1909 dalam sebuah pertempuran melawan Belanda. Sementara Pang Nanggroe, suami Cut Meutia yang sudah lama diincar Belanda tewas pada 26 September 1910 dekat Lhoksukon.
Ali Rojo pimpinan gerilya Bukit gugur pada 26 November 1909 di Gayo Lues. Cut Nyak Dhien ditangkap pada 4 November 1905 di Meulaboh dan dibuang ke Sumedang. Pocut Baren seorang wanita pemimpin gerilya ditangkap Belanda pada 1910 setelah kakinya ditembusi peluru dan tak sadarkan diri.
Teungku Angkasah di Tapaktuan yang mengakibatkan kerugain banyak di pihak Belanda, gugur dalam pertempuran di Ujong Padang, Tapaktuan pada tahun 1925. masih di Tapaktuan, Cut Ali bersama pengikutnya Teuku Nago dan Imum Sabi, yang sering menyerang bivak-bivak tentara Belanda, tewas di Alue Beurang, Tapaktuan pada 25 Mei 1927.
Sultan Tuanku Muhammad Dawod yang menyerah pada tahun 1903, karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan keadaannya setelah menyerah, kembali melakukan aksi untuk menyerang Belanda di Kutaraja. Pada tahun 1907, aksi yang diorganisirnya itu melakukan penembakan-penembakan terhadap bivak-bivak belanda di Lhokseudu.
Dalam masa itu Sultan Dawod juga menghubungi Konsul Jenderal Jepang di Singapura meminta bantuan untuk melakukan aksi bersama melawan Belanda. Karena itu pula, Sultan Dawod kemudian ditangkap Belanda dan dibuang ke Ambon. Pada tahun 1917, Sultan Dawod diizinkan meninggalkan Ambon dan memilih tinggal di Meester Corneelis (sekarang Jatinegara) dan meninggal dunia di sana pada tahun 1939.
Belanda kemudian mengangkat tabik, kagum terhadap kepahlawanan para pejuang Aceh tersebut dalam buku “Gedenboek van het korp Marechausse van Aceh en Onderhoorighheden.” Dalam salah satu bagian buku itu Belanda menulis. ’’De heldhaftigheid van den Atjeher, welke hij gedurende den Atjehoorlog aan den om legde bij den strijd om zijn land te verdedigen, heeft de eebied van de Merechausse’s afgedwongen en tevens hun bewondering voor zijn moed, doodsverachting, zelfopoffering en uithoudingsvermogen.’’
Artinya : Kepahlawanan orang Aceh yang diperlihatkannya masa perang Aceh dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan tanah airnya, telah menimbulkan rasa hormat dan kagum terhadap keberaniannya, sikap tak gentar menghadapi maut, pengorbanan diri dan daya tahannya,’’
Terompet Tipuan
Kejadian lain ditulis H C Zentgraaff sebagai kesadisan perang di Aceh. “Adakah peristiwa pemotongan mayat-mayat yang lebih menyedihkan dengan yang terjadi setelah kegagalan penyerbuan mendadak terhadap Gle Yueng?”
Kala itu untuk menumpas perlawanan pejuang Aceh, Belanda merancang sebuah serangan terencana dan mendadak ke Gle Yueng, tempat pasukan Tgk Chik Ditiro berada. Pasukan Belanda menuju ke daerah perbukitan itu malam hari. Mereka bergerak setelah mengetahui lokasi itu dari seorang wanita pelayan di rumah Letnan Boon yang pernah berhubungan dengan seorang wanita bernama Sofia, kemenakan Panglima Polem.
Sofia telah bercerita tentang Gle Yueng kepada pelayan tersebut. Info dari pelayan itu pula yang kemudian dipakai Belanda sebagai langkah untuk melakukan penyerangan. Tapi serangan Belanda tersebut gagal total. Mereka disambut pejuang Aceh dengan kobaran api. Pejuang Aceh membakar benteng pertahannya, sehingga tak ada langkah untuk berlindung apalagi mundur, selain hanya satu langkah menyambut serangan Belanda dengan serangan yang lebih hebat pula.
Pasukan Belanda kalah total. Mayat berserakan, malah Kapten Scheuer, komandan Belanda yang memimpin serangan itu mengalami luka tembak dibagian perut. Pagi hari ia ditemukan tergeletak di rumput yang basah dengan darahnya sendiri. Ketika seorang juru rawat hendak memperban lukanya, ia berkata. “Bagi saya tak perlu lagi, tolonglah orang yang tengah mengerang-ngerang di sana.” Ia pun kemudian tewas dengan lukanya.
Sementara seorang perwira Belanda lainnya, Kapten Yacobs tewas dengan luka tembak di bagian kepala. Puluhan pasukan Belanda tewas. Sisanya luka parah. Kegagalan Belanda itu berawal dari sebuah suara terompet dalam malam buta ketika perang berkecamuk.
Isyarat suara terompet itu berisi perintah untuk berhenti menembak. Terompet itu ditiup oleh seorang fusilier bernama Pauwels, seorang tentara bayaran dari Belgia. Ternyata malam itu Pauwels menyebrang ke pasukan Aceh. Ia sengaja meniup teromper itu untuk mengelabui pasukan Belanda. Sehingga ketika Belanda berhenti menyerang pasukan Aceh dengan leluasa menyerang Belanda.
Pasukan Belanda benar-benar terpukul, karena sejak awal memperkirakan kalau penyerangan ke Gle Yueng mudah, sehingga tidak membawa banyak perbekalan. Mereka hanya membawa beberapa tandu saja, sementara korban yang tewas 28 orang, puluhan lainnya luka berat. Banyak korba tubuhnya sudah dicincang dengan sabetan pedang.
Karena itu pula, H C Zentgraaff, mantan pasukan Belanda yang setelah purnawirawan menjadi wartawan perang, menyebutkan peristiwa tersebut sebagai peristiwa pemotongan mayat yang sangat menyedihkan. “Haruskah dikirim kabar ke bivak Indrapuri, agar dikirimkan alat-alat pengangkut mayat dan korban yang luka-luka. Mereka mengirim segala apa yang ada: daun pintu, meja-meja, papan berkelipak-kelipak, dan semua itu ternyata belum cukup untuk mengangkut tentara yang tewas dan luka-luka,” tulis Zentgraaff.
Yang mendapat giliran pertama untuk diangkut adalah prajurit yang luka-luka. Mereka diangkut dengan menggunkan daun pintu dan papan-papan sebagai tandu. Zentgraaff menilai hal tersebut akan memberikan penderitaan bagi para korban melebihi penderitaan akibat luka yang dialami saat perang.
Sedangkan serdadu yang tewas, kaki dan tanganya diikat pada kayu pikulan, kemudian digotong oleh para pekerja paksa (beer). Para pekerja paksa itu merupakan orang-orang hukuman yang dibawa Belanda dari Jawa ke Aceh. “Dengan mengangkut orang yang mati dan luka-luka, pasukan masih harus melalui Krueng Meunapat. Betul-betul suatu perjalanan yang berat,” lanjut Zentgraaff.
Barisan pasukan pengangkut mayat dan korban luka-luka itu dinilai Zentgraaff sebagai arak-arakan yang mengerikan. Ia menulis, “Orang-orang yang mati bergelantungan pada pikulan, melengkung di tengahnya, dan kepala-kepala yang berlumuran darah terbuai-buai di sampingnya. Beberapa diantara yang mati itu berlumuran darah dan lumpur, bagai binatang-binatang yang dibawa keluar dari rumah potong hewan dan harus diangkut terseok-seok selama setengah hari.”
Peristiwa itu merupakan kekalahan telak bagi Belanda. Sepanjang perjalanan mengangkut mayat dan korban luka-luka ke Indrapuri tersebut, masyarakat Aceh melihat arak-arakan itu dengan nada mengejek kekalahan tersebut. Karena itu pula, mental para serdadu Belanda menjadi menurun.
“Peristiwa itu tidak dapat dilupakan untuk selama-lamanya. Pemandangannya begitu menyedihkan. Mereka yang berjiwa jantan sekali pun dan bersemangat baja berkat pertempuran-pertempuran, kini berjalan mengiringi mayat-mayat itu diliputi rasa haru yang sangat dalam, sehingga hilang lenyap kemampuan mengendalikan diri serta perasaannya. Begitulah arak-arakan itu tiba di Indrapuri, dan semalam suntuk pasukan zeni bekerja keras membuat peti-peti mati. Sebuah lobang yang besar seakan-akan mulut raksasa kelaparan menganga menghadap ke atas, akan menelan seluruh 28 jenazah serdadu kita. Jenazah kedua orang kapten yang gugur dikirimkan ke Peucut Kerkhof (kuburan Belanda di Banda Aceh)” lanjut Zentrgaaff.
Van Hfeutsz, komandan bala tentara Belanda ikut hadir pada upacara penguburan tersebut. Tatkala peti mati itu diturunkan ke dalam lobang, dia pun tak kuasa membentung perasaannya lagi, dan menetes air mata di pipinya. Dengan susah payah ia mengeluarkan beberapa patah kata, “Prajurit-prajurit gagah perkasa, gugur di medan kehormatan,” katanya, setelah berhenti sejenak menahan haru, ia melanjutkan “Makam ini akan diabadikan.”
Kuburan massa itu kemudian disebut sebagai Kerkhof kecil di Indrapuri. Zentgraaff pernah berkunjung ke kuburan itu, akan tetapi ia tidak menemukan apa pun, karena sudah dipenuhi semak. Hanya tersisa beberapa batu nisan lama di kuburan perorangan, dan beberapa keping pagar kayu, yang menandakan bahwa di dalamnya ada mayat yang dikuburkan.
“Di tengah-tengah pekuburan ada sebatang pohon yang agak menyolok dari keadaan sekelilingnya, dan saya berfikir dalam hati bahwa di dalam tanah di mana pohon itu tumbuh, tersedia makan yang lebih banyak bagi akar-akar pohon itu dari pada disekitarnya,” jelas Zentgraaff dalam catatannya.
Belum ada tanggapan untuk "Yang Dipuja Dalam Catatan Musuh"
Post a Comment