Kamis, 20 Januari 2011 kemarin merupakan hari yang baik bagi media di Aceh. Satu-satunya—dan yang pertama—di Aceh perwira TNI divonis sepuluh bulan penjara dalam kasus penganiayaan wartawan Harian Aceh liputan Simeulue, Ahmadi.
Pasi Intel Kodim )115 Simeulue, Lettu (inf) Faizal Amin divonis sepuluh bulan penjara. Vonis ini sesuai dengan tuntutan Ouditur Mayor Jamiun SH. Sebelumnya kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI di Aceh tak pernah kita dengar di bawa ke pengadilan. Tapi kali ini, keberanian Majelelis Hakim, Mayor (CHK) Waluyo SH (hakim ketua) Mayor (CHK) Djundan SH dan Mayor (SUS) Mirtusin SH (hakim angota) patut diacungi jempol.
Perkara ini bukanlah untuk melihat siapa menang dan siapa kalah, tapi keadilan bagi pekerja media mulai dihargai oleh instansi militer. Pidana sepuluh tahun penjara dinilai layak untuk Faizal Amin, meski perwaira TNI kelahiran 1981 itu menyatakan pikir-pikir untung banding terhadap vonis tersebut.
Bagaimanapun hukum mengenal istilah non facis reun nisi mensir rea, tiada terpidana tanpa kesalahan. Kesalahan yang telah diperbuat wajib dipertangungjawabkan. Kita tidak ingin hukum yang memandang kasus hitam putih menjadi abu-abu, hitam tetaplah hitam dan putih tetaplah putih. Hukum harus tetap menjadi panglima, karena Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum (rechts staat) bukan berdasarkan kekuasaan (macht staat).
Setiap warga negara—termasuk TNI—di dalamnya mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Meski kadang di Indonesia hukum masih dipengaruhi oleh politik. Tapi, kenyataan kemarin, dengan divonisnya Faizal Amin sepuluh bulan penjara, setidaknya presenden buruk hukum sedikit bergeser menjadi baik.
Majelis hakim kentara tidak mementingkan kepentingan menjaga korpnya dalam kasus ini. Bukan sepuluh bulannya yang patut diapresiasikan, tapi tuntasnya kasus ini di Mahkamah Militer yang patut dihargai.
Bagi kawan-kawan di media juga kita berharap tidak mendahului hakim dalam memberitakan suatu perkara. Keberimbangan yang tidak hanya cover board side tapi harus multy board side agar tidak adanya penghakiman oleh media (trial by the press). Media—dan jurnalis di dalamnya—harus menjadi tumpuan penegakan hukum, bukan malah menengendalikan hukum (prss controlled law enforcement) melalui informasi publik yang disiarkannya.
Kita juga berharap vonis sepuluh bulan ini bukan karena korbannya adalah wartawan, yang setiap tahapan persidangannya diliput media, tapi lebih karena pertimbangan keadilan bagi publik. Esok hari atau kapan saja, siapapun yang menghadapi kasus yang sama dengan Ahmadi harus diperlakukan sesuai dengan amanat undang-undang, baik dengan maupun tanpa media di dalamnya sekalipun. Semoga.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Presenden Baik Bagi Media"
Post a Comment