Pembahasan subtansi rancangan qanun (raqan) lembaga wali naggroë kini kembali menghangat. Menariknya, ada sejumlah kriteria untuk bisa menjadi wali nanggroë, yang bisa menumbuhkan sebuah monarki baru di Aceh.
Pada pasal 15 Raqa Lembaga Wali Nanggroë, ada 19 kriteria yang ditetapkan, yang kriteria ini tak mudah untuk dipenuhi oleh politisi dan tokoh Aceh sekarang. 19 kriteria yang ditetapkan dalam raqan itu menjadikan wali naggroë benar-benar sebagai sebuah jabatan yang sangat bermartabat.
Kriteria pertama adalah beragama Islam, ini sudah pasti. Kemudian pada kriteria kedua dan ketiga disebutkan harus keturunan yang baik dan mulia dari keturunan wali-wali sebelumnya. Pertanyaannya, siapa wali-wali rakyat Aceh sebelumnya. Apakah wali dari kalangan mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau dari keturunan raja-raja Aceh sebelumnya. Hal-hal seperti ini masih perlu penjelasan yang lebih jelas sebelum rancangan qanun itu disahkan menjadi qanun.
Pada kriteria lainnya disebutkan wali nanggroe itu harus berakal dan baligh, berahklak mulia dan tidak dzalim. Ini juga masih butuh penjelasan yang lebih rinci bagaimana mengukur ahkhal mulia seorang calon wali nanggroe tersebut.
Selanjutnya seorang wali nanggroë harus dikenal dan diterima oleh rakyat Aceh, nasional dan internasional, alim, berani, arif dan bijaksana, amanah, tidak shafih, baik anggota dan sempurna panca indera, kasih sayang dan rendah hati, sangat penyabar, pemaaf, terpelihara dari hawa nafsu jahat, bertawaqal kepada Alllah Swt dan selalu bersyukur, bersifat adil, serta mampu berbahasa asing secara lancar sekurang-kurangnya bahasa Arab dan Inggris.
Membaca 19 kriteria tersebut, timbul lagi pertanyaan adakah orang-orang seperti itu di Aceh sekarang? Sangat sulit untuk menemukannya ketika banyak pemimpin di Aceh sekarang lebih memikirkan perut dan kelompok, tinimbang berlaku amanah dan arif terhadap rakyat.
Menariknya adalah pada kriteria calon wali nanggroë itu harus dari keturunan dari wali-wali sebelumnya. Pada pasal 14 disebutkan Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro dengan gelar Paduka Yang Mulia Al Mudabbir Teungku Tjhik Di Tiro Dr Hasan Muhammad sebagai wali nanggroe Aceh yang kedelapan. Lalu siapa wali nangroe Aceh yang pertama sampai ketujuh, sebelum Hasan Tiro?
Pada BAB II Kajian Akademis, histori wali nanggroe ini dijelaskan berdasarkan catatan dalam buku Larosse Grand Dictionary Universelle, yang menggambarkan tentang Kerajaan Aceh yang berkuasa di kepulauan Melayu atau Hindia Timur pada akhir abad 16 sampai abad 17.
Dalam buku itu dijelaskan bahwa apada tahun 1582, Bangsa Aceh telah memperluas kekuasaan atas di semenanjun Melayu serta mempunyai hubungan diplomasi dengan Hindia, Jepang, sampai ke Arab. Dalam buku itu disebutkan, pada tahun 1582 Sultan Aceh menyerang Portugis di Selat Malaka dengan armada yang terdiri dari 500 kapal perang serta 60.000 tentara laut dibawah pimpinan Laksamana Malahayati.
Sumber lainnya adalah dari Prof Willfred Contwell Smith yang mengatakan bahwa pada abad 16 sudah ada hubungan Maroko, Instanbul (Turki), Isfahan, Agra dimana Aceh sebagai pelaku sejarah di dalamnya. Kemudian pada tahun 1819 Kerajaan Aceh melakukan perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Inggris karena saat itu Kerajaan Aceh sebagai penguasa di Selat Malaka.
Pada 26 Maret 1873 perang kemudian berkecamuk di Aceh. Sejak itulah tanah Aceh setapak demi setapak diduduki Belanda, hingga pusat istana pemerintahan Kerajaan Aceh (Dalam) dikuasai Belanda pada 24 Januari 1874. Kejatuhan Dalam itu diyakini akibat pengkhianatan dari dalam. Empat hari kemudian dia mangkat akibat terkena wabah kolera di Lueng Bata dan dimakamkan di Pagar Aye.
Beberapa hari kemudian jasadnya dipindahkan ke Cot Bada, Samahani karena khawatir makamnya akan dibongkar oleh Belanda. Dalam kecamuk perang itu kemudian Sulthan Muhammad Daud Syah yang saat itu masih berusia 11 tahun diangkat menjadi raja. Karena sulthan masih muda maka dibentuklah lembaga wali nanggroë.
Pembentukan itu dilakukan pada 25 Januari 1874 melalui musyawarah Majelis Tuha peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad Raja Keumala, Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala dan Teungku Tjik Di Tanph Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha peut itu menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut.
Tiga hari kemudian pada 28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh diangkatlah Al Malik Al Mukarrah Tfk Tjik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroë Aceh yang pertama.
Setelah memimpin perang selama 17 tahun Tgk Tjik Di Tiro syahid akibat diracun di Kuta Aneuek Galong pada 29 Desember 1891. Tiga hari kemudian 1 Januari 1892 diangkatlah Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Amin Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe Aceh yang kedua. Ia juga syahid pada tahun 1896 di Kuta Aneuek Galong. Wali nanggroe selanjutnya dijabat oleh Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam Bin Muhammad Saman.
Selanjutnya jabatan itu dipegang oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe keempat pada 1898 sampai syahidnya pada 1902. Sebagai penggantinya kemudian diangkat Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah Bin Muhamamd Saman, tiga tahun menjabat (1905) wali nangroe yang kelima itu syahid.
Jabatan itu kemudian diwariskan secara turun temurun dalam kecamuk perang Aceh melawan Belanda. Sebagai wali nanggroe yang keenam pada tahun 1905 diangkat Tgk Tjik Di Tiro Mayiddin Bin Muhamamd Saman, ia juga syahid dalam perang melawan Belanda pada 11 Desember 1910.
Sebagai pemangku sementara jabatan wali nanggroe kemudian ditunjuk Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tgk Tjik Di Tiro di Garot Muhammad Hasan yang kemudian juga syahid dalam peperangan pada 3 Juni 1911. Sehari kemudian jabatan itu diemban oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin yang kemudian syahid pada 3 Desember 1911 dalam peperangan melawan pasukan Belanda pimpinan Kapten Smith. Sarakata wali nanggroe ditemukan oleh Kapten Smith dalam teungkulok Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin, yang kemudian disimpan di Museum Bronbeek Belanda.
Pada tahun 1968 surat tersebut diambil oleh Tgk Hasan Muhammad Di Tiro yang diserahkan langsung oleh Ratu Beatrix penguasa negeri Belanda. Pada 1971 Hasan Tiro kembali ke Aceh dan menyerahkan sarakata wali naggroe tesrebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar Bin Mahyiddin. Pada saat itulah Hasan Tiro diangkat menjadi Wali Nanggroe.
Berdasarkan kajian akademis itulah, pada bagian keenam rancangan qanun lembaga wali naggroe pasal 14, Hasan Tiro disebut sebagai Wali Nanggroe Aceh yang kedelapan. Kemudian pada poin dua pasal itu disebutkan bahwa berdasarkan hasil rapat sigom donya di Stavanger, Norwegia pada 2 Juli 2002, apabila Hasan Tiro mangkat maka diangkat Malik Mahmud sebagai Peurdana Meuntroe, Zaini Abdullah sebagai Meuntroe Luwa, maka Malik Mahmud secara langsung menjadi pemangku jabatan (waliul’ahdi) wali nanggroe sebagai pelaksana tugas wali naggroe.
Dan, Hasan Tiro sebagai wali naggroe yang kedelapan sudah mangkat pada 3 Juni 2010. Kini jabatan itu masih diemban Malik Mahmud sebagai pelaksana tugas. Pertanyaanya sekarang bila rancangan qanun lembaga wali nanggroe itu disahkan, apakah Malik Mahmud memenuhi kriteria wali nanggroe yang sudah ditetapkan qanun tersebut. Atau kepada siapa lagi jabatan wali nanggroe akan dipundakkan sebagai jabatan seumur hidup.
Artikel keren lainnya:
3 Tanggapan untuk "Kriteria Wali Nanggroe"
asslamualaikum.
Bagaimana bisa wali nanggroe dihubungkan dengan sejarah aceh???
Karena pemangku sultan Alaidin M. Daudsyah adalah Tuanku Hasyim Banta Muda.., dan pada waktu itu tidak ada wali nanggroe.dan Tgk Chik Ditiro sebagai qadhi malikul adil,, seterusnya diserahkan kepada beliau untuk memimpin peperangan.
Kalo bicara mengenai wali nanggroe maka akan terjadi suatu kerancuan??
karena mengakui wali nanggroe maka akan mengakui Kesultanan Aceh,, karena yang memberi hak perwalian adalah dari keturunan kesultanan Aceh
"Wali Neugara" kon "Wali Nanggroë". Njang ramé hana teupeuë lé ureuëng Atjèh djino teumasôk pansus raqan Wali Nanggroë bahwasadjih: "WALI NEUGARA" (Head of state in emergency) dgn "WALI NANGGROË" (Guardian) bida. Narit njang diulang2 bah that pih salah akan djeut beutôi dalam politék kutoë. Bah that pih meunan, handjeut gata peubeutôi buët njang salah. Peundjeulasan singkat dgn bukti ttg reuncana awak pansus DPRA njang peupalsu seudjarah Atjèh njoë akan tapeutrang sigra.
"Wali Nanggroë" dgn "Wali Neugara" bida. Kata "Nanggroë" bukan bhs Aceh arti kata drpd "Negara". Almarhum Tgk Hasan Tiro bukan Wali Nanggroë ke 8 melainkan Wali Neugara ke 8. (Sumber: Buku "The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tgk Hasan Di Tiro)
Lalu ada manusia dari Singapore mengklaim dirinya Wali Nanggroë ke 9? Dari mana asal usulnya bisa langsung jadi ke 9? Dalam berhitung saja dimulai dgn angka 1 bukan 9.
Lembaga Wali Nanggroe bukan Lembaga Wali Negara
Mengkritisi penyimpangan sejarah yang terjadi akibat rencana pembentukan lembaga Wali Nanggroe di Aceh, ASNLF menegaskan bahwa:
Tidak ada hubungan apapun antara Lembaga Wali Negara yang merujuk pada sejarah dan budaya bangsa Aceh, yang terakhir kali dipegang oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro (alm), dengan lembaga “Wali Nanggroe” produk Helsinki yang sedang dipersengketakan oleh banyak pihak di Aceh akhir-akhir ini.
Dalam buku “The Price of Freedom”, Tengku Hasan Muhammad di Tiro (alm) telah menjelaskan, apa yang dimaksud dengan Wali Negara dan kenapa beliau menyebutkan dirinya sebagai wali. Istilah “Wali” diibaratkan seperti seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya, sementara dia belum dewasa. Sebagai pengganti orang tuanya diperlukan seorang Wali untuk menjaga dan melindungi dirinya. Demikianlah halnya dalam kasus negara Aceh, yang akan dijelaskan dalam alasan historis berikut ini.
http://www.asnlf.org/index.php/asnlf-website-melaju/berita-aktual/siaran-pers-11112012/
Post a Comment