De omnibus dubitandum, segala sesuatu harus diragukan, kata filsuf Rene Descartes. Maka sikap skeptis pun lahir. Wartawan tidak serta merta harus larut dalam kata “benar” yang muncul dari mulut si berkuasa. Kebenaran perlu diverifikasi.
Karena itu kawan, sebagai wartawan kita juga harus skeptis pada kemampuan diri sendiri untuk mengetahui apa arti sesungguhnya dari sebuah peristiwa. Ini penting agar kita tidak memfatwa apalagi memvonis melalui berita.
Melalui sikap yang skeptis, kebenaran itu kita cari untuk kemudian dinyatakan tanpa ragu. Kaum rasionalis mencari kebenaran melalui rasio. Mereka mengembangkan penalaran mengenai objek tertentu, tanpa harus terikat dengan kebenaran yang diterima semua pihak, karena itu kebenaran kaum rasionalis cenderung subjektif.
Sementara itu kawan, kaum empiris mencari kebenaran melalui pengalaman. Mereka menolak penalaran abstrak. Mereka lebih mengedepankan kebenaran yang bisa dinyatakan melalui tangkapan pancaindera.
Tahukah kamu kawan, kita belum tentu benar ketika menulis tentang peristiwa yang benar. Tapi sebagai wartawan ada kita bisa mengadopsi cara empiris dan rasionalis, yang penting kebenaraj sebuah berita dapat diterima akal sehat, akurat, berimbang, tidak bias apalagi memvonis. Itu saja sudah memadai.
Kita harus skeptis untuk menghindari kesalahan. Karena itu perlu adanya verifikasi data dan fakta. Tidak ada alasan untuk tidak melakukan konfirmasi sumber demi kebenaran, karena wartawan bukan alat. Kita bukan tangan Mr X, Y, Z atau siapa saja. Kita adalah pekerja yang mencari kebenaran dari sebuah peristiwa. Karena itu saat menulis hindari prasangka, kendalikan bias individu. Publik harus diutamakan sebab kebenaran tujuan pemberitaan, bukan fitnah.[AI/27/5/08]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Skeptis"
Post a Comment