Editor merupakan saringan terakhir di redaksi media. Ia yang mengupas setiap kata, memeras jadi sari, ampasnya tentu masuk tong sampah. Aneh bila kemudian ampas berlagak sari. Di sinilah lakon jagung dan jambu monyet terjadi.
Jagung tumbuh menyembunyikan biji yang banyak. Meski sudah dilapisi rambut, ia masih membungkusnya dengan kulit. Jangan seperti jambu monyet, bijinya cuma satu, tapi dipamerkan dalam rindangnya daun.
Untuk membuat berita jadi jagung, bukan jambu monyet, tentu editor tidak akan menelan kata mentah-mentah, karena akan melahirkan karakter buruk bagi media. Untuk tidak jadi penyakit, maka kata perlu dikunyah, memisahkan ampas dan sari.
Agar berita benar-benar jadi jagung, mari menulis yang tak sia-sia. Jangan menulis kesia-siaan. Tahu mengapa? Alasannya, membedah sesuatu yang sia-sia sama dengan memetik setangkai mawar dan mencampakkannya ke jurang, lalu di ketinggian tebing, kita berdiri menunggu debum jatuhnya. Itu mustahil. Bukan telinga yang pekak, tapi memang suara debumnya tak pernah ada.
Kembali ke jagung, kawan. Ketika kita masih berlakon jambu monyet, jangan harap ada sari. Karena lakon membanggakan diri tidak laku di mata publik. Pembaca akan tertarik dengan lakon jagung. Tepuk dada bukan di sini tempatnya, tapi di ring tinju.
Agar jadi jagung, lihatlah diri sendiri tanpa melupakan suara orang lain. Suara tim lebih besar tinimbang berlagak dalam ego. Editor adalah gunting yang memangkas dan mengupas, jadi bukan lawan dalam frame tua atau tidaknya kita di media.
Usia bukan alasan untuk bersuara lantang. Karena manusia berpengetahuan harus mampu bukan saja untuk mencintai musuh-musuhnya, tapi juga membenci teman-temannya. Apalagi saat memeras kata, membuang ampas mengambil sari.
Jagung dan jambu monyet hanyalah tamsilan. Sari tetaplah sari dan ampas tetaplah ampas. Ingat kata Shakespeare dalam Romeo and Juliet, mawar akan tetap harum meski dipanggil dengan nama lain. Jadi mari menulis sari, bukan ampas.[AI/30/5/08]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Jagung"
Post a Comment