Ini tamsilan paku dan seorang anak. Ada sabar, maaf dan toleransi di dalamnya. Setiap berbuat salah, seorang anak diminta untuk memaku satu pagar. Hari pertama ada belasan pagar yang dia paku. Sesuai jumlah kesalahannya.
Dihukum seperti itu capek. Ia pun menahan diri. Dari hari ke hari jumlah pagar yang dipaku terus berkurang. Sampai kemudian ia tak memaku satu pagar pun, karena tak berbuat salah.
Hari hari selanjutnya, ia diajari untuk menahan diri bila ada masalah. Setiap ia berhasil, satu paku dicabutnya. Ia menemukan nikmatnya menahan diri yang membuatnya terbebas dari persoalan. Semua paku yang pernah dipakunya habis dicabut. Ia benar-benar mampu bersabar.
Tapi tahukah kawan. Meski ia telah berlaku baik, pagar itu berlobang karena bekas paku yang ditancap dan dicabutnya. Pagar tidak akan bisa seperti semula. Begitu juga menulis kawan. Menulis bukan memojokkan, karena ada hak keberimbangan berita yang harus kita lakukan. Bila cover both side tidak dilakukan, maka kita sudah meninggalkan luka pada pihak yang tersengat pemberitaan.
Oke katamu, masih ada hari esok untuk menampung hak jawab. Tapi itu juga bukan obat kawan. Karena tak semua orang yang baca berita hari ini, akan membaca berita esoknya. Apalagi ketika kesalahan pemberitaan hanya masuk pojok ralat kecil di sudut halaman.
Itu sama saja seperti kita menusuk pisau di punggung orang dan mencabutnya, lalu meminta maaf. Katakanlah ia memaafkan, tapi tetap luka tusukan itu membekas. Luka akibat pemberitaan yang tidak berimbang lebih berbahaya dari luka fisik. Lebih parah lagi ketika pembaca melihat berita pertama sebagai “fatwa” yang memvonis, sementara berita susulan soal bantah atau ralat tidak punya kekuatan untuk benar-benar menghapus “fatwa” itu.
Jadi, sebagai wartawan, jangan adili orang lain apa lagi memvonisnya. Tapi adililah diri sendiri secara kritis, sudah berimbangkah kita menulis? Kalau belum, ingatlah hikayat paku ini.[AI/23/5/08]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Paku"
Post a Comment