Pria berkaca mata hitam itu hilir mudik. Sesekali ia membetulkan letak topi pet-nya yang lusuh. Ia begitu sibuk diantara massa yang berdemonstarsi ke Badan Rehanilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.
Janggut dan kumis tebal membuat tampilannya tampak sangar. “Itu Teungku Thailand,” kata salah seorang demonstran memperkenalkan pria kelahiran 1963 Jaba Timur, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen tersebut. “Ia punya banyak nama, itu salah salah satunya,” lanjut demonstran tadi.
Thialand melekat dinamanya, setelah pria berbadan kekar itu pulang dari negeri gajah putih tersebut. Maklum, saat konflik mendera Aceh, pria bernama Ramli Ismail itu minggat kesana.
Di negeri itu pula ia mengikuti latihan perang, hingga akhirnya memanggul senjata sebagai tentara nanggroe alias TNA, sayap militernya GAM. Tak tanggung-tanggung 13 tahun di Thailand membuatnya menjadi penyeludup senjata ulung ke Aceh saat konflik dengan menggunakan kapal nelayan.
Ia menyebut senjata yang diseludupkannya itu dengan istilah tukôk u (pelepah kelapa kering-red). Ia mendapatkannya setelah melakukan barter denan sarang wallet. “Saya hanya juru jalan, semua itu saya lakukan demi perjuangan,” katanya merendah. Meski tersenyum ia masih terlihat sangar.
Menyeludupkan senjata untuk perjuangan baginya itu cerita lama. Selasa (16/4) kemarin, ia menjadi pengatur massa yang melakukan demonstarsi ke BRR menuntut dana rehab rumah Rp15 juta per kepala keluarga. “Awas ada mobil lewat, tali pembatasnya dikencangkan,” teriaknya kepada massa ketika sebuah sebuah sedan mulus meluncur melewati massa. Saat berteriak kesan sangarnya semakin kentara saja.
Namun, sebuah sapa cukup untuk menghilangkan kesan sangarnya itu. Ia bisa terharu bahkan menangsi ketika berbicara tentang nasib massa korban tsunami yang menuntut haknya di BRR tersebut. “Berjuang untuk rakyat tidak akan pernah sia-sia,” katanya dengan mata basah. Ada bulir bening yang mengalir di sudut matanya.
Sesaat ia terdiam. Setelah menghembus nafas pelan ia berkata. “Bagi saya berkorban untuk rakyat lebih mulia dari pada menikmati hasil perdamaian.” Kali ini ia tidak bisa menahan air matanya. “Kini saatnya saya membalas jasa rakyat yang telah menyelamatkan saya, melindungi nyawa saya, megorbankan harta bendanya untuk perjuangan,” lanjut pria yang menguasai empat bahasa Asing ini.
Pria yang mampu berbicara dalam bahasa Thailand, Kamboja, Vietnam dan Laos ini menolak berkisah tentang kebersamaanya dengan masyarakat di Krueng Sabe, Aceh Barat saat konflik. “Terlalu getir untuk diceritakan, biar ini jadi pengalaman,” lanjutnya.
Dengan kemampuan berbahasa asing, sebenarnya dengan mudah ia bisa menjadi penerjemah di beberapa NGO internasional. Namun semua itu ditapiknya. “Keuntungan pribadi bukanlah tujuan hidup saya,” katanya datar.
Diakhir obrolan ia berujar, “Phom krab chong bacacun kwan rum twha bacacon tang mond. “ Melihat orang-orang sekelilingnya bingung, ia pun mengartikan maksud dari bahasa Tagalog itu. “Aku berjuang untuk rakyat yang teraniaya,” jelasnya. [iskandar Norman/boy n]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Teungku Thailand di Gerbang BRR"
Post a Comment