Ia tumbuh dewasa sebelum waktunya. Tapi bukan karbitan. Deni Maulana. Usianya 11 tahun. Tapi gaya bicara jauh di atas usianya. Kerasnya hidup sebagai kernet dum truck, membuat siswa kelas lima sekolah dasar ini bergaul dalam kedewasan saat usianya masih belia.
Tsunami pada 26 Desember 2006 silam, telah merengut pelukan ibu darinya. Kini tinggal ia bersama abangnya di sebuah rumah bantuan di Desa Meunasah Baro, Kecamatan Meuraxa,
Kota Banda Aceh. “Saya harus mandiri bang,” katanya dengan logat khas Aceh Besar.
Untuk mendiri dengan keringat sendiri itu pula, Deni menepis indahnya bermain dimasa kecil. Ia masuk dalam lingkungan dewasa. Kisah itu bermula ketika remaja berkulit sawo matang itu tinggal di barak Lambaro. Saat banyak bantuan mengalir ke barak. Ia merasa dirinya seakan tak berguna karena hidup dari bantuan.
Di simpang Lambaro, Aceh Besar ia berkenalan dengan seorang supir dum truck. Kepadanya Deny meminta bantuan. Bukan uang, tapi bekerja menjadi kernet. Para sopir menolak permintaan anak kecil tersebut. Karena simpati, malah para sopir memberinya uang, tapi ia menolaknya. “Saya tidak ingin menyusahkan orang lain. Pernah saya lempari sopir yang memberikan saya uang,” kata Deni.
Keseringan meminta dipekerjakan itu pula, kemudian membuat hati Ridwan, salah seorang sopir dum truck tergerak untuk mempekerjakannya. “Awalnya saya tidak berani, karena takut dituduh mempekerjakan anak-anak. Tapi melihat ketegaran dia untuk hidup, hati saya luluh. Saya mempekerjakannya dan siap dengan resiko disebut mengekspoitasi anak,” ungkap Ridwan.
Sejak itulah ia hidup dengan keringanya sendiri. Oleh rekan kerjanya Deni kemudian dipanggil Molen, kecil, mungil, tapi berkarakter keras. “Tugas saya saat ikut dum truck yang mengangkut tanah timbun atau pasir, adalah mengikat dan membuka layar (terpal -red) penutup tanah, kemudian memukul pakai batu kunci pengait pintu bak dum truck agar terbuka saat hidrolik naik menurunkan tanah timbun yang kami bawa,” jelasnya.
Untuk pekerjaannya itu, gajinya Rp10 ribu sampai Rp15 ribu perhari. Pendapatannya akan bertambah jadi Rp20 ribu jika kebagian tugas mencuci truck. “Saya hanya bekerja setengah hari, sepulang sekolah, paling cuma dua trip, makanya dibayar segitu,” lanjutnya.
Molen baru bekerja sehari penuh bila sekolah libur. Hasil jerih payahnya itu digunakan Molen selain untuk jajan dan membeli buku, juga untuk kebutuhan rumah. “Saya tidak ingin bergantung hidup pada abang. Abang saya tidak punya pekerjaan tetap,” katanya sambil tertawa.
Semangat hidup yang menyala itu didapat Molen dari mendiang ibunya. Sebelum tsunami ia membantu jualan sarapan pagi bersama ibunya. “Ibu bilang agar saya tidak menyusahkan orang lain. Saya harus bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita saya jadi pilot,” lanjutnya. Kali ini nada suaranya datar. Dua bulir bening mengalir dari kelopak matanya. “Saya ingat ibu,” katanya seraya menghapus air mata.
Sebelum bekerja sebagai kernet dum truck, Molen bekerja pada mobil penjaja air minum. Namun, tak lama bekerja, ia harus berhenti karena pemilknya menjual mobil tersebut.
Kemandirian hidup Molen, kemudian menginspirasikan Zhet Production. Melalui kerjasama dengan Satuan Kerja (Satker) Pendidikan, Kesehatan dan Gender BRR NAD-Nias, kehidupan Molen difilmkan dalam film dokumenter bertajuk “Senyum Maulana.” [iskandar norman/zulham wahyudi]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Molen Dewasa Sebelum Waktunya"
Post a Comment