Pelaku kejahatan selalu selangkah lebih maju dari penegak hukum. Tapi tak ada kejahatan yang sempurna alias cacat adanya. Kecacatan itu pula celah awal pengungkapannya. Ibarat lobang kunci, ia kecil, tapi bisa digunakan untuk meneropong kedalam kamar.
Begitu juga dalam kasus penembakan anggota Pomdam Iskandar Muda, Sertu Ujang. Dua puluh tiga orang telah diperiksa. Tiga diantaranya ditahan, karena diduga terlibat. Namun bagaimanapun hukum mengenal azas praduga tak bersalah.
Diduga terlibat, belum tentu salah. Dari serangkaian proses hukum, ujungnya hanya pengadilan yang bisa memvonis salah tidaknya seseorang. Proses itu harus diikuti agar hukum menjadi panglima.
Indonesia sebagai negara yang berda¬¬s¬¬ar atas hu¬¬¬¬kum (rechts¬¬staat), ti¬¬dak berda¬¬sar¬kan atas ke¬ku¬¬asaan belaka (macht¬sstaat). Setiap war¬ga negara sama keduduk¬an¬nya di de¬¬pan hu¬kum. Tapi di negara berkembang seperti Indonesia, hukum sering dipengaruhi oleh politik, bahkan hukum merupakan produk politik sebuah pemerintahan.
Persenggamaan antara hukum dan politik juga sering membuat hukum pincang. Kondisi ini diperparah ketika pertaruhan atas nama hukum bukan lagi untuk mencari keadilan, tapi usaha menggapai kemenangan. Imbasnya, akan ada pihak yang dirugikan.
Kondisi ini membuat hukum tak lagi jadi panglima, karena materi telah mendominasinya. Sadar atau tidak praktik mafia peradilan (prokreor) pun terjadi. Praktik ini ibarat kentut yang bau, terasa ada tapi teraba tidak.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Hukum"
Post a Comment