Astagfirullah ya Allah rabbal baraya
Wanastaqfirullah ya Allah minal khataya
Minkulli kulli sambin
Aqfir aqfir ya karim
Itulah sebait syair mukaddimah dikè. Setiap bulan maulid, dikè selalu digelar di kampung-kampung di Aceh. Dikè berasal dari kata zikir dalam bahasa Arab. Dikè merupakan sejenis seni suara yang dilantunkan oleh anak-anak.
Satu kelompok diké biasanya berjumlah 30 sampai 50 anak laki-laki. Mereka dipimpin oleh empat sampai enam orang dewasa sebagai syeh. Syeh dikè harus mampu membangkitkan berbagai radat (irama) dalam melantunkan syair-syair dikè.
Syair dalam dikè berisikan pujian kepada Allah, serta doa-doa agar peringatan mauled nabi mendapat berkah. Selain itu juga berisikan sejarah perjuangan nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan agama islam. Sebagai variasi, dalam syair dikè juga dimasukkan kisah-kisah yang bertemakan tentang pendidikan dan tamsilan-tamsilan yang bermanfaat bagi kehidupan.
Awalnya syair-syair dalam dikè disampaikan dalam bahasa Arab dengan berbagai irama yang bervariasi. Belakangan, syair berbahasa Aceh juga dimasukkan, biasanya pada syair pengantar dan penutup dikè.
Para pemain dikè-selain syeh-menggunakan prék sebagai alat untuk membangkitkan irama dengan cara memukulnya ke lantai secara serentak. Pukulan disesuaikan dengan irama syair yang dibawakan oleh syeh.
Prék terbuat dari lundang (pembungkus putik kelapa yang sudah kering) atau situéuk (pelepah pinang) yang dipotong sepanjang satu jengkal lebih dengan lebar dua jari. Karena itu pula dikè sering juga disebut meuprék.
Dikè dibagi dalam tiga babak. Pada babak pertama, pemain dikè duduk bersila di lantai meunasah (surau) tempat maulid diadakan. Mereka membentuk lingkaran bundar.
Setelah syeh membawa syair pengantar, langsung disambut oleh para pemain sambil mengayun bahu dan kepala secara serentak ke keiri dan kanan. Ayunan bahu dan kepala juga selaras dengan irama syair yang semakin lama semakin cepat.
Syair yang dilantunkan dengan suara melengking berpadu sengan irama prék di lantai merupakan sebuah keunikan tersendiri. Masyarakat biasanya datang ke meunasah untuk menyaksikan acara meudikè. Sementara para pemuda dan tetua kampung, sibuk menjamu para undangan dari berbagai desa yang hadir untuk menikmati suguhan kenduri maulid.
Pada babak kedua, para pemain yang duduk bersila tadi akan berdiri dan saling berpagang tangan kiri dan kanan. Posisi masih membentuk lingkaran bundar. Selanjutnya syeh akan melantunkan syair pembuka babak kedua, seperti:
Marhaban ya marhaban
Marhaban jattal husaini
Marhaban ya marhaban
Marhaban ya nurulaini
Huedlallah-huedlallah
Marhaban ya nurulaini
Masih seperti pada babak pertama, syair-syair itu akan diikuti oleh para pemain dikè. Sambil mengayunkan tangan yang berpagangan tadi ke depan dan belakang, dengan irama yang semakin lama semakin cepat. Hentakan tersebut membangkitkan irama lantai yang keras. Begitu seterusnya sampai berpuluh syair dilantunkan.
Babak kedua ini disebut dengan grôp, yakni menghentakkan kaki ke lantai secara serentak dengan irama bervariasi. Akurasi derap telapak kaki yang serentak dan bervariasi tersebut merupakan sebuah keindahan tersendiri. Pada babak inilah puncak dari dikè.
Setelah grôp usai, para pemain akan kembali duduk seperti pada babak pertama. Gerakan pada babak ke tiga sama dengan babak pertama tapi lebih lembut. Biasanya satu pergelaran dikè menghabiskan waktu tiga sampai empat jam.
Untuk menghindari lelah para pemainnya, pada babak pertama diselingi dengan minum bersama dengan berbagai peganan yang dihidangkan. Setelah dikè berakhir baru dihidangkan nasi.
Dikè tidak pernah dimainkan di tempat terbuka. Ini erat kaitannya dengan makna dikè itu sendiri yang bermakna zikir. Dikè juga merupakan pergelaran musiman yang hanya dimainkan pada bulan maulid. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Dikè, Meuprék Irama Lantai"
Post a Comment