Aceh bangsa berperadaban, kata Gubernur Irwandi Yusuf saat pembukaan acara Diwana Cakradonya. Ia seolah meneropong masa lalu, sambil mengajak kita untuk menjaganya.
Untuk menjaga peradaban itu pula, Rp3,5 milyar dana dihamburkan. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Sementara di sisi lain, ratusan korban tsunami harus ber yel-yel, mengharap dana rehab rumah.
Sebuah kondisi yang sangat kontras. Ketika rakyat harus berteriak keras untuk mendapatkan haknya, Pemda masih bisa tersenyum sambil pawai dengan gajah. Diwana Cakradonya pun tak ubahnya sebuah proyek untuk menarik untung bersama.
Tahun 2004 lalu, ketika acara yang sama dengan nama berbeda digelar (PKA-4) puluhan Rp10 milyar dana publik terpakai, malah indikasi korupsi sempat mencuat meski kemudian tenggelam kembali, dan tak terdengar lagi sampai sekarang.
Hal ini seakan mempertegas mentalitas pemimpin kita yang lebih cenderung berminat dan tertarik untuk melindungi proses yang sistimatis, yang dalam proses tersebut mereka bisa menguasai alur mengalirnya dana publik, untuk tujuan memperbesar keuntungan pribadi, dari pada membela dan meningkatkan kesejahteraan kaum miskin.
Berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, hanya sampai tingkat ekonomi menengah ke atas saja. Kaum miskin tidak pernah punya kekuasaan untuk membela kepentingan ekonomi mereka sendiri, selain menangis dalam orasinya di gerbang kekuasaan.
Pemimpin-pemimpin di negeri kita, bukanlah Corazon Aquino, yang sebelum menjadi presiden Philipina, telah menjadi tuan tanah besar di Provinsi Tarlac. Sebagai tuan tanah, ia maklum, kalau masyarakat miskin yang tidak mempunyai lahan merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meletus dan menumbangkan negerinya.
Karena itu pula saat ia menjadi orang nomor satu di negerinya tersebut, ia begitu peka terhadap keberadaan kaum miskin. Sementara di sini, atas nama peradaban, dana publik dihamburkan dengan mengenyampingkan teriakan si miskin. Entahlah.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Peradaban"
Post a Comment