Paskakonflik, kita sudah bebas untuk tidak bebas. Simaklah, perampokan, penculikan plus pembunuhan, hampir saban hari menghiasi halaman media. Di satu sisi kita sudah terbebas dari nestapa konflik, namun disisi lain dalam kebebasan itu, ternyata kita masih tidak bebas untuk bisa hidup tenang.
Peristiwa terbaru terjadi di Aceh Timur, Senin (14/4) dua perampok bersenjata, Zulkarnain (20 tahun) warga Desa Blang Batee dan Hamdani (19 tahun) warga Paya Meuligoe, Peureulak, diringkus aparat kepolisian. Sementara tiga orang lainnya berhasil meloloskan diri.
Untuk menjadi benar-benar bebas memang mahal. Tiga dekade terpasung konflik, membuat kebebasan di era damai ini jadi begitu berharga. Namun lagi-lagi, kebebasan itu belum benar-benar bebas. Angka kriminalitas masih saja tinggi. Moga ini bukan awal dari lahirnya spoiler alias perusak damai.
Bila itu terjadi maka suasana akan kembali pada ketidak-normalan, dan kebebasan itu akan kembali terkubur, termasuk di dalamnya kebebasan pers. Pers dikekang, maka hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar-benar benar atas kebenaran yang sesungguhnya pun hilang.
Lagi-lagi, rakyat banyak yang akan menerima dampaknya. Hal ini sudah pernah disetil oleh Amartya Sen. Peraih nobel bidang ekonomi tahun 1998 asal India ini, melakukan penelitian pada kasus-kasus di India, Bangladesh, Etiopia, dan negara-negara sub-Sahara Afrika.
Hasilnya, Sen berkesimpulan, berbagai bencana dapat dicegah seandainya ada kebebasan pers. Buktinya, setelah adanya kebebasan pers sejak tahun 1947, India tidak lagi mengalami peristiwa kelaparan yang berarti.
Kebebasan baru akan terwujud bila adanya pemberantasan sumber-sumber utama ketidakbebasan. Semoga saja, meningkatnya angka kriminalitas di Aceh bukan pertanda penodaan damai. Karena kebebasan yang sesunguhnya harus benar-benar terpelihara, termasuk bebas untuk hidup tenang tanpa ancaman kekerasan. ***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Bebas"
Post a Comment