Menggantikan nama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bukanlah tindakan hebat. Tapi upaya membelakangi sejarah, hanya karena ucapannya yang lebih dekat ke “syiah” meski sesungguhnya sunni. Lebih baik membangun kualitas tinimbang mempersoalkan nama. Tentang Syiah pada nama Abdurrauf sudah banyak dibahas orang. Ia berupa gelar bagi ulama besar, bukan aliran syiah yang karap ditentang sunni. Mengganti nama Syiah karena serupa penulisannya dengan syiah juga tindakan yang gagal pahan akan makna.
Tulisan ini bukan ingin menambah kontroversi wacana pergantian nama universitas jantong hate rakyat Aceh itu. Lebih kepada mengajak kembali semua pihak bercermin pada sejarah pembentukannya.
Mari kita buka lembaran sejarah itu. Saya ajak kita semua untuk membaca buku Sepuluh Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Buku yang memuat secara detil upaya dan rintangan pembentukan Unsyiah ini diterbitkan pada 1969 oleh Yajasan Pembina Darussalam.
Penerbitan buku ini dilakukan sebagai bentuk dokumentasi perjalanan Unsyiah, ditambah dengan asbab kunjungan Presiden Soeharto ke Kopelma Darussalam pada 31 Agustus 1968. Ali Hasymi selaku Ketua Yajasan Pembina Darussalam menjelaskan, awalnya yayasan yang membangun Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam bernama Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA).
YDKA inilah yang menangani pelaksanaan pembangunan Kopelma, hingga diresmikan pada 2 September 1959. Hari yang hingga kini diperingati sebagai Hari Pendidikan Provinsi Aceh dan hari jadi Unsyiah.
Yayasan ini bertugas memelihara dan melanjutkan pembangunan Kopelma Darussalam. Politik pembangunannya didasarkan pada kekuatan rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat. Di sinilah terjadi perpaduan antara tenaga rakyat dengan kekuatan pemerintah.
Kopelma mencakup beberapa perguruan tinggi di dalamnya, yakni Unsyiah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jamiah Ar Raniry, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Akademi Pemerintahan Dalam Negeri, serta Dayah Tinggi Syik Pante Kulu. Dua lembaga terakhir kini tidak ada lagi.
Pada saat pembukaan pertama Unsyiah empat fakultas, yakni Fakultas Ekonomi, Fakultas Kedokteran Hewan dan Ilmu Peternakan, Fakultas Tekhnik dan Fakultas Pertanian. Sementara di IAIN Jamiah Ar Raniry pertama dibuka; Fakultas Tarbiyah, Fakultas Syariah, Fakultas Usuluddin/Filsafat, dan Fakultas Dakwah/Publisistik.
Sementara di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan dibuka Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Pengetahuan Eksasta, dan Fakultas Keguruan Sastra Seni.
Panglima Daerah Angkatan Kepolisian I/Atjeh, Komisaris Besar Polisi Drs Hadji Soehadi, pada 26 Mei 1969 menyebutkan Unsyiah dan IAIN sebagai dua sejoli (dwitunggal) yang dipersembahkan untuk rakyat Aceh.
Drs Marzuki Nyakman merupakan sarjana pertama yang pulang ke Aceh untuk mengajar di Kopelma. Ia kemudian menjabat sebagai Wakil Gubernur Aceh. Mari kita telusuri sejenak bagaimana kegigihan Marzuki Nyakman dalam membangun Unsyiah dan IAIN. Semoga menjadi renungan bagi siapa saja yang berhasrat mengganti nama Syiah pada Unsyiah.
Setahun sebelum Unsyiah didirikan (1958), Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengutus angota Dewan Pemerintah Daerah Aceh, Ismail Abduh dan Nyak Yusda ke Yogjakarta. Keduanya ditugaskan untuk mengumpulkan bahan-bahan, serta melakukan penelitian sejauh mana kemungkinan dapat dibangunnya universitas di Aceh.
Pada waktu itu Marzuki Nyakman masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di Yogjakarta. Ia bersama Ismuha menjabat sebagai Ketua Biro Asisten Provinsi Aceh di kota gudeg tersebut. Ismail Abduh dan Nyak Yusda menyampaikan maksud tersebut kepada mereka. Hasilnya, saat itu belum memungkinkan membangun universitas di Aceh, selain karena persoalan biaya juga karena tidak adanya tenaga pengajar.
Marzuki Nyakman dan Ismuha menyarakan agar tidak tergesa-gesa, lebih baik membuka akademi dulu atau kursus B1 untuk menciptakan guru-guru sekolah lanjutan. Lebih baik memberi beasiswa kepada putra-putri terbaik Aceh untuk kuliah ke luar daerah, dari pada membangun universitas.
Namun di Aceh tekat itu sudah bulat, universitas harus segera dibuka. Untuk mendukung hal itu, Biro Asisten Provinsi Aceh Yogjakarta mengirim tenaga-tenaga guru SMA ke Aceh dalam rangka Pengerahan Tenaga Mahasiwa (PGM) sehingga dalam waktu singkat bisa dibuka SMA di seluruh Aceh. Biro Asisten Provinsi Aceh Yogjakarta juga mengirim mahasiswa-mahasiwa Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri di berbagai jurusan.
Setelah menamatkan pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM), Marzuki Nyakman meninggalkan Yogjakarta sekitar tahun 1959 dan bekerja pada Departeman Dalam Negeri di Jakarta. Saat itu keadaan di Aceh masih bergolak akibat meletusnya “Peristiwa Atjeh” sejak tahun 1953.
Setahun bekerja di Departemen Dalam Negeri Marzuki Nyakman kembali ke Aceh, meskipun pada waktu itu sarjana-sarjana Aceh lebih memilih bekerja di luar dari pada kembali ke Aceh karena situasi belum memungkinkan, mereka lebih memimilih berkarir di luar Aceh.
Marzuki Nyakman bekerja di kantor gubernur, ia memimpin bagian desentralisasi/koordinasi. Ia juga ditugaskan memimpin Kursus B1 Ekonomi dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya seperti Sekretaris Komisi Perencanaan Penciptaan Kopelma Darussalam.
Komisi ini sering mengadakan rapat dan diskusi-diskusi yang melahirkan konsep-konsep untuk merealisasi cita-cita pembangunan sebuah universitas di Aceh. Anggota komisi ini terdiri dari Dr T Iskandar, Dr R Sugianto, dan T Hadji Usman Jahja Tiba, dan kemudian menyusul Ibrahim Husin MA, komisi ini sering mengadakan rapat-rapat hingga larut malam.
Setelah diadakan persiapan seperlunya dan atas usul pemerintah daerah bersama penguasa perang, keluarlah Surat keputusan Menteri Pendidikan dan kebudayaan, tanggal 17 November 1960, nomor 96450/UU tentang pengangkatan panitia persiapan Universitas Syiah Kuala dan FKIP yang terdiri dari pejabat pemerintah sipil dan militer serta tokoh masyarakat. Panitian ini diketuai Gubernur Ali Hasymi dan Sekretaris Drs Marzuki Nyakman.
Tanggal 17 Desember 1960 rapat perdana digelar. Rapat dihadiri Gubernur Ali Hasymi, Pangdam I Iskandar Muda Mayjen M. Jasin selaku wakil ketua umum panitia, dan kolonel Sjamaun Gaharu selaku penasihat panitia. Kepada Kolonel M jasin yang akan berangkat ke Jakarta dalam rangka tugas dinasnya, diminta untuk melakukan pembicaraan dengan instansi terkait untuk merealisasi pembangunan universitas di Aceh.
Pada tanggal 13 Februari 1961, digedung DPR-GR Aceh diadakan rapat panitia untuk mendengar laporan Mayjen M. Jasin selaku wakil ketua umum panitia mengani hasil pembicaraannya di jakarta. Ia menjelaskan bahwa dalam pembicaraannya di Jakarta bahwa universitan bukan keperluan mendesak untuk Aceh karena butuh biaya besar dan belum adanya tenaga pengajar, tapi ada yang lebih mendesak yakni pembangunan fisik seperti jalan, pelabuhan dan sebagainya.
Penjelasan M Jasin itu membuat suasan rapat terbelah menjadi dua, ada yang setuju universitas segera dibuka ada pula yang meminta ditunda dulu. Akhirnya rapat ditutup dengan penuh kelesuan. Satu-satunya keputusan rapat waktu itu adalah akan diadakan lagi rapat khusus Pimpinan Harian Panitia dua hari yang akan datang di rumah dinas Pangdam Mayjen M Jasin.
Setelah rapat ditutup, Ali Hasymi memanggil Marzuki Nyakman ke ruang kerjanya dengan penuh haru dan kecewa Ali Hasymi mengatakan “Saudara Marzuki, saudara telah mengikuti pembicaraan dalam rapat panitia tadi. Terserah sekarang kepada saudara-saudara sarjana Aceh apakah Universitas Syiah Kuala itu jadi lahir atau tidak.”
Kata-kata Ali Hasymi membuat hati nurani Marzuki Nyakman bergetar dan ia kemudian memanggil Dr T Iskandar untuk merumuskan bersama kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh.
Muzakir Nyakman bisa memahami betapa kecewanya Ali Hasymi, karena Kopelma Darussalam merupakan cita-cita besar untuk kemajuan Aceh yang disebut sebagai “jantong hate rakyat Aceh”
Ali Hasymi berkata di hadapan Marzuki Nyakman. “Mungkin hanya dua kali saya pernah menangis, pertama sewaktu salah seorang anak saya dipanggil Tuhan berpulang ke Rahmatullah, dan kedua sewaktu Darussalam mendapat gangguang karena Peristiwa Aceh.”
Dalam kecaman kekecewaan yang amat dalam, seorang pelayan kantor gubernur mendatangi mereka dan menyerahkan sepucuk surat dari Prof Sardjito, Presiden (Rektor) Universitas Gajah Mada. Surat tersebut bertanggal Yokjakarta, 14 Januari 1961 No.28/Sn/I/61 yang ditutju kepada Ketua Panitia Persiapan Pendirian Universitas Negeri Syiahkuala.
Surat itu berisi jawaban dari surat yang pernah dikirim Marzuki Nyakman ke UGM. Isinya memberitahukan bahwa sarjana-sarjana lulusan UGM sedang menyumbang tenaga dalam gerakan pembangunan manusia bersusila yang cakap serta berguna bagi bangsa dan negara.
Dalam surat balasannya itu, Rektir UGM, Prof Sardjito menulis:
“Pada waktu Presiden dari Universitas-universitas Negeri baru-baru ini mengadakan rapat dewan antar universitas di Jakarta, telah dikemukakan persoalan agar supaya universitas-universitas yang sudah beridiri agak lama suka membantu Universitas (fakultas-fakultas) di Banda Aceh dalam hal tenaga pengajar dan lainnya. Karena Universitas Gajah Mada ingin turut pula membantu perkembangan universitas yang baru, maka kami ingin mendapat bahan-bahan dan keterangan-keterangan mengenai bantuan yang diperlukan, terutama tenaga-tenaga pengajar yang mungkin dapat kami sumbang....”
Sebagai realisasi dari surat itu, UGM kemudian banyak membantu baik dalam bentuk moril maupun pengiriman tenaga staf pengajar, antara lain yang pertama kali dikirim adalah Drs Sumarmo yang kemudian menjadi guru besar UGM.
Ali Hasymi kemudian meminta kepada Muzakir Njakman agar membaca surat itu dalam rapat khusus pimpinan harian panitia yang akan dilakukan di rumah Pangdam I Iskandar Muda Mayjen M jasin. Dalam rapat itu diminta kesan-kesan peninjauan Dr R Sugianto yang ditugaskan ke Jakarta dan Yogjakarta, dan laporan dari pejabat Dekan Fakultas Ekonomi Dr T Iskandar dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Dr. RM Sudjono Ronowinoto tentang suka duka pembangunan fakultas-fakultas tersebut.
Setelah itu baru Marzuki Nyakman diminta untuk membacakan surat dari Presiden UGM, Prof Sardjito. Mendengar Marzuki Nyakman membacakan surat tersebut, tak seorang pun buka bicara, sampai kemudian Kolonel M Jasin memecahkan kesunyian malam tersebut.
“Kalau begitu, kita dihadapkan pada pembukaan Universitas Syiahkuala, namun demikian saya minta supaya kita bekerja keras dan nanti pada bulan Juni yang akan datang hendaknya supaya semua persiapan benar-benar sudah rampung. Pada waktu itulah kita menentukan pembukaan Universitas Syiah Kuala.”
Pernyataan spontan Kolonel M Jasin itu mendapat sambutan hangat dari para anggota panitia lainnya. Pernyataan Kolonel M Jasin itu kemudian menjadi keputusan rapat malam tersebut.
Untuk kelengkapan persiapan panitia, Marzuki Njakman bersama Dr T Iskandar, Dr RM Sudjono dan Kapten AK Abdullah, diutus ke Medan, Jakarta, Bandung dan Yogjakarta, sambil menyampaikan laporan persiapan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan tugas-tugas lainnya menyangkut usaha memperoleh tenaga-tenaga dosen.
Perutusan itu telah membicarakan tentang persiapan-persiapan pendirian Universitas Syiahkuala dengan Kepala Biro Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Prof. Sugiono Djuned Pusponegoro beserta stafnya. Intinya, menyetujui pembukaan Universitas Syiahkuala pada 2 September 1961 hari ulang tahun Darussalam.
Selanjutnya perutusan telah berhasil melakukan kontak dan membina hubungan kerja sama dengan pihak Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran, dan Universitas Gajah Mada, yang pada umumnya berjanji akan membantu sepenuhnya pendirian Universitas Syiahkuala di banda Aceh.
Sekembalinya dari peninjauan tersebut, mereka menyampaikan laporan kepada rapat pleno panitia pada 8 Mei 1961. Hal ini semakin meyakinkan bahwa Universitas Syiahkuala akan segera berdiri.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kemudian mengutus tim tekhnis ke Aceh yang terdiri dari Prof Sugardo, Drs M A Gani, dan Drs Syamsuddin Ishak. Setelah meninjau, tim tersebut berkesimpulan bahwa peresmian pembukaan Universitas Syiahkuala sudah dapat dilakukan. Awalnya direncanakan akan dilakukan pada 2 September 1961, akan tetapi berhubung dengan kesibukan pemerintah pusat baru dilakukan pada 27 April 1962 oleh presiden Soekarno.
Alat kelengkapan universitas kemudian dibentuk, Kolonel M Jasin dilantik sebagai pejabat Rektor, sementara Ali Hasymi sebagai Ketua Dewan Penyantun (Curator). Selain itu Kolonel M Jasin dan Marzuki Nyakman juga diangkat sebagai wakil ketua I dan II dewan penyantun.
Di samping Unsyiah juga dibangun IAIN Djamiah Arraniry dengan beberapa fakultas, sebagai rektor pertama ditunjuk Drs H Ismuha. Selain itu juga dibangun Dayah Tinggi Tgk Chik Pantekulu, serta Akademi Pemerintahan Dalam Negeri. Ketika Kopelma Darussalam dirintis, kawasan itu masih merupakan hutan belantara. Pertama dibuka 180 hektar untuk pembangunan gedung dan segala fasilitas pendidikan lainnya.
Berkaca pada sejarah pendiriannya, rasanya tak elok mengganti nama Unsyiah. Mengganti nama juga berpotensi menggaburkan sejarah Unsyiah itu sendiri. Lalu dimana kita letakkan penghargaan kepada mereka-mereka yang telah bersusah payah mendirikan jantong hate rakyat Aceh?
[iskandar Norman]
Belum ada tanggapan untuk "Gagal Paham Unsyiah"
Post a Comment