Les hitam terhadap 300 tokoh Aceh, yang berencana dibunuh, serta sikap Soekarno yang ingkar janji menjadi alasan Tgk Muhammad Daoed Beureuh untuk memberontak terhadap Jakarta.
Menulis soal pemberontakan di Aceh, tak lekang dari pemberontakan DI/TII. Aceh yang awalnya begitu setia terhadap Republik Indonesia, tiba-tiba menjadi begitu berang, ketika Tgk Muhammad Daoed Beureueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, merasa dikhianati oleh Presiden Soekarno. Janji yang tak ditepati menjadi alasan utama Daoed Beureueh memberontak.
Sejarawan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan. Kekecewaan Daoed Beureueh semakin memuncak, ketika sebuah dokumen rahasia dari Jakarta yang disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tingi Sunarjo yang membawa dokumen itu ke Medan. Ada pula yang menyebutkan dokumen rahasia itu “warisan” dari kabinet Sukiman.
Isinya, Jakarta berencana membunuh 300 tokoh penting Aceh—ada juga yang menyebut 190 tokoh—melalui sebuah operasi rahasia yang disebut sebagai les hitam. Keputusan ini diambil setelah Jakarta memastikan bahwa Aceh akan menggelar sebuah pemberontakan. Tapi sampai kini tak ada yang bisa memastikan keberadaan dokumen tersebut.
Sejarawan Belanda lainnya, B J Boland, dalam bukunya “The Struggle of Islam in Modern Indonesia”, menyebutkan sebetulnya surat itu tak pernah ada. Menurut Boland, desas-desus itu dihembuskan oleh politikus sayap kiri di Jakarta untuk menghantam gerakan Islam di Aceh. Namun secara tersirat Van Dijk menduga dokumen itu ada. “Daftar nama itu barang kali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Orang Aceh terkemuka merasa mereka mungkin akan ditangkap dan, karena itu, memutuskan lari ke gunung,” tulis Van Dijk. Tapi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dalam rapat paripurna DPR pada 2 November 1953 menyangkal telah menyusun daftar itu.
Rumor tentang rencana pembunuhan itu membuat pemberontakan Darul Islam di Aceh menemukan momentumnya. Aktivis Darul Islam langsung pasang kuda-kuda. Teungku Daoed Beureueh, salah satu orang yang disasar oleh dokumen tersebut, segera mengacungkan kapak perang. “Les hitam adalah bukti yang menimbulkan kecurigaan kita bahwa pencetus peristiwa berdarah itu adalah permainan lawan-lawan politik Teungku Daoed Beureueh uttuk menghancurkan beliau dan kawan-kawan,” tulis pelaku sejarah Aceh dan menantu Daoed Beureueh, M Nur el Ibrahimy.
Setelah itu, sembilan tahun Daoed Beureueh memimpin sebuah gerakan perlawanan dengan bendera Darul Islam. Gerakan itu menjadi pembuka kisah perlawanan Aceh paska-era kolonial dan memunculkan Daoed Beureueh, tokoh besar yang sulit dilupakan sejarah.
“Les hitam” bukan satu-satunya alasan mengapa peristiwa itu ada. Membela Republik di masa perjuangan kemerdekaan, Daoed Beureueh merasa dikhianati Sukarno. Divisi X TNI di Aceh dibubarkan dan pada 23 Januari 1951 status provinsi bagi Aceh dicabut. Ada yang menyebut kabinet Natsir yang melakukannya. Tapi ada yang berpendapat itu hasil kabinet sebelumnya. Apa pun, yang terang Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara.
Van Dijk bercerita. Dua hari setelah keputusan itu diambil, pemerintah Jakarta melantik Abdul Hakim menjadi Gubernur Sumatera Utara dengan Medan sebagai ibu kota pemerintahan. Daoed Beureueh, yang saat itu adalah gubernur jenderal yang meliputi kawasan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, bahkan tak tahu perihal pengangkatan gubernur baru tersebut. “Semua surat yang dialamatkan ke residen koordinator dikembalikan ke Medan tanpa dibuka atas perintah Daoed Beureueh,” tulis Van Dijk.
Selain itu, Aceh juga sudah lama merasa dipinggirkan penguasa Republik. Ekonomi rakyat tak diperhatikan, pendidikan morat-marit, dan Jakarta dalam pandangan Daoed Beureueh hanya sibuk bertikai dalam sistem politik parlementer. Dan yang terpenting, status otonomi khusus, yang memungkinkan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam tak kunjung dipenuhi Soekarno.
Dalam usahanya memberontak terhadap Jakarta, Daoed Beureuh menjalin hubungan Kartosoewirjo, pemimpin DI/TII di Jawa Barat, yang lebih dulu mengibarkan bendera perang. Tak jelas benar siapa yang lebih dulu “membuka kata” untuk sebuah kongsi yang bersejarah itu.
Van Dijk menungungkapkan, menurut sebuah dokumen rahasia yang belakangan terungkap, Daoed Beureueh dan orang kepercayaannya, Amir Husin al-Mujahid, pernah berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung pada 13 Maret 1953. Utusan Kartosoewirjo, Mustafa Rasyid, pernah pula dikirim ke Aceh untuk membicarakan hal yang sama. Mustafa ditangkap tentara Indonesia ketika kembali ke Jawa pada Mei 1953.
Kemarahan Daoed Beureueh ini mendapat dukungan publik Aceh. Dalam kongres ulama Aceh di Medan, yang dilanjutkan dengan kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)—lembaga yang dipimpin oleh Daoed Beureueh—di Langsa, April 1953, menggumpallah itikad melawan Jakarta. Orang-orang Jawa dan Medan mereka sebut sebagai “kafir yang akan merebut Aceh”. Sukarno mereka sebut sebagai presiden yang hanya akan memajukan agama Hindu.
Puncaknya adalah maklumat perang yang ditulis Daoed Beureueh pada September 1953. “Dengan lahirnya proklamasi Negara Islam Indonesia Aceh dan daerah sekitarya, lenyaplah kekuasaan Pemerintah Pancasila di Aceh,” demikian bunyi makmulat yang dikirim hingga ke desa-desa.
Jakarta bukan tak bergerak. Sebelum tentara dikirim, Soekarno lah yang mendatangi Aceh untuk mendinginkan suasana. Tapi, seperti kunjungannya pada 1951, kunjungan menjelang perang berkobar itu disambut dingin. Pengamat politik Herbert Feith dalam artikelnya di jurnal Pacific Affairs pada 1963 mencatat betapa Soekarno tak berdaya disambut poster-poster anti presiden. “Kami cinta presiden tapi lebih cinta agama,” begitu bunyi salah satu poster.
Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang punya latar belakang keislaman, relatif lebih berhasil. Dalam kunjungan pada Juli 1953, ia berhasil berunding dengan Daoed Beureueh dan pulang ke Jakarta dengan keyakinan bisa mengatasi keadaan. Tak seperti Soekarno, Hatta adalah orang yang sejak awal percaya bahwa pemberontakan daerah hanya bisa diatasi dengan menerapkan otonomi khusus dan federalisme.
Tapi Hatta justru dikepung oleh kritik politikus sekuler, terutama PKI. Hatta dianggap ceroboh karena telah menggunakan pengaruhnya kepada Perdana Menteri Wilopo sehingga pemerintah tak mengambil tindakan apa-apa menghadapi Aceh hingga 1953. Pertempuran akhirnya memang tak terhindarkan di Aceh. Dan Daoed Beureueh berdiri dalam pusaran konflik yang berkepanjangan.
Dilahirkan di Beureueh, Sigli, pada 1898, Muhammad Daoed Beureueh adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid— orang tua Farhan Hamid, politisi nasional asal Aceh--. Pada usia 33 tahun, Daoed mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli.
Daoed adalah ulama yang disegani. Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953 menulis betapa Daoed Beureueh bisa “menyihir” orang dalam ceramahnya yang berjam-jam di masjid. Tak hanya memukau, Daoed Beureueh tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam. “Lidah Teungku Daoed sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Indonesia Merdeka.
Karena karismanya itu, Daoed Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Daoed Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRl). Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah formal, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler.
Tapi Daoed Beureuh bukankah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA—lembaga yang didirikannya pada 1939 terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda. Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah. Puncaknya adalah meletusnya peristiwa perang cumbok.
Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat (BKR). Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.
Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku Daoed Beureueh Pengisap Darah Rakyat’,” tulis Van Dijk.
Van Dijk malah menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, tak lain berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah M Nur El-Ibrahimy. Menurutnya, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. Menurut El-Ibrahimy, serangan kepada Daoed Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dan Borsumij, sebuah perusahaan Belanda. “Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.
Pemberontakan Daoed Beureueh berlarut-larut sebagian pimpinan DI/TII menjalin kontak dengan pusat dan turun gunung, sementara itu rakyat lelah oleh perang. Pada 1961, ia menyerahkan diri kembali ke pangkuan Republik, selepas menjalani pemberontakan yang panjang. Dalam surat menyuratnya dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang diutus untuk membujuk Daoed Beureueh, ia menyatakan kesediaannya untuk turun gunung dengan lebih dulu diberi kesempatan bermusyawarah dengan kalangan ulama, Ia bukan lagi pejabat, bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut.
Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah karismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Daoed Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tidak ada penyakit yang serius yang diidap Teungku Daoed kecuali penyakit rindu kampung halaman,” kata El-Ibrahimy.
Daoed beureueh meningal di tanah Aceh pada 1987. Nafasnya berhenti hanya dua tahun sebelum pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM)—masa yang membuat luka di Tanah Reneong kembali terbuka.
[iskandar norman]
Belum ada tanggapan untuk "Les Hitam 300 Tokoh Aceh"
Post a Comment