Judul tulisan singkat ini saya ambil dari judul buku Friedrich Nietzsche “Ecce Homo” lihatlah dia. Kali ini mari kita melihat Rosihan Anwar.
Rosihan Anwar memang telah pergi pada Kamis, 14 April 2011. Tapi ia tidak benar-benar pergi. Ia masih di sini bersama kita, di meja kita, di layar monitor komputer jinjing kita, di ingatan generasi setelahnya. Ia tak pergi tanpa meninggalkan secercah rasa.
Banyak orang yang pergi, tapi masih berada bersama orang-orang setelahnya sampai sekian puluh tahun bahkan berbilang abad, menembus segala masa. Inilah yang disebut Peter Ustinov dalam Aftertaste, 1958, tidak ada gunanya mati jika Anda tidak menghantui ingatan seseorang, jika tidak meninggalkan secercah rasa.
Segelintir orang berhenti menjadi manusia dan mulai menjadi gagasan, menjadi monumen adalah bukti mereka meninggalkan rasa tertentu di benak generasi setelahnya. Dan Rosihan Anwa telah melakukan hal itu melalui buku-bukunya.
Rosihan sebelum berangkat, telah lebih dulu pergi Ke Barat dari Rumah (1952), India dari Dekat (1954). Ia juga ada pada laman-laman Dapat Panggilan Nabi Ibrahim (1959), yang kemudian mulai bertanya pada kita semua dalam Islam dan Anda (1962).
Rosihan juga da di Ihwal Jurnalistik (1974), lima tahun sebelumnya Raja Kecil (1967) juga menggentarkan kita dalam novelnya. Ia juga meniggalkan secercah rasa itu dalam Kisah-kisah Zaman Revolusi (1975). Yang paling membekas adalah ketika ia Menulis Dalam Air (1983). Itu hanya sebagian dari rasa yang ditiggalkan Rosihan di ujung penanya.
Untuk Rosihan, kita tak perlu menulis panjang lebar, banyak sudah yang membahas kehidupannya. Tapi mari kita berpaling untuk melihatnya dari apa yang ditinggalkannya dalam buku-buku tadi. Wartawan segala zaman itu memang telah sampai pada apa yang dikatakan Nietzshe, how one become what one is: bagaimana orang menjadi apa adanya dia.
Begitulah Rosihan menjadi dirinya sendiri yang setia pada profesinya sampai akhir hayat, ketika banyak orang-orang seangkatannya yang menyebarang ke ranah politik dengan kepopulerannya. Mereka yang mampu meraih pencapaian di ranah lain setelah “murtad” pada profesi jurnalisnya, tapi tak mampu menjadi monumen dalam ingatan sebagaimana Rosihan “menghantui” ingatan generasi setelahnya. Maka wajarlah dia mendapatkan anugrah Bitang Mahaputra III (1974), Kesetiaan Berkarya Sebagai Wartawan (2005) dan Life Time Achievement (2007).
Tak berlebihan rasanya ketika ia hampir empat dekade dipercayakan sebagai wakil ketua dewan film nasional, anggota dewan pimpinan Harian YTKPI, Commite Member AMIC Singapore, sampai menjadi dosen tetap di fakultas sastra Universitas Indonesia.
Lihatlah Rosihan, bagaimana kentalnya rasa yang ditinggalkannya sampai ke liang lahat di Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Ramai petinggi negeri yang angkat tabik untuk sepuh para jurnalis itu.
Ya…lihatlah Rosihan, ia memang tak memanggul senjata ketika nusantara dirampas kolonial. Tapi penanya melebihi senjata segala senjata masa itu. Apa yang terjadi di meja konferensi semisal konferensi meja bundar pada 1946 antara petinggi negerinya yang baru lahir dengan penjajahnya di Denhag dikabarkan di ujung penanya.
Pria kelahiran 10 Mei 1922 di Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat telah hidup dalam ragam zaman selama 88 tahun. Hingga kemudian ketokohannya sebagai jurnalis yang idealis membuatnya pantas untuk berpaling melihatnya.
Sekarang, lihatlah Rosihan tidak lagi di rupanya, tapi di 21 buku dan ratusan artikel yang ditinggalkannya di hampir semua media cetak terkemuka di Indonesia. Itu semua merupakan pondasi dari rancangan monumen dirinya dalam ingatan kita. Seperti kata Nietzsche, ia telah menjadi apa adanya dia dengan tidak menjadi orang lain.
Untuk orang-orang seperki kita (jurnalis) yang mengikuti Rosihan, tak perlu mengupas panjang lebar kehidupannya. Tapi mari kita mencari dia di monumen ingatan yang ditinggalkannya, karena Rosihan bukanlah golongan megalomania yang menulis hanya untuk dirinya, yang mengira bahwa kehidupanya cukup istimewa untuk dibaca orang. Tapi mari membaca dia dan semangatnya sebagai jurnalis segala zaman. Rosihan memang telah pergi, salvo dan lambaian saja tidak cukup untuk mengantar kepergiannya. Jauh dari itu, mari kita mencari dia di “monumen” yang ditiggalkannya.
Menutup tulisan singkat ini, saya kutip apa yang dikatakan Nietzsche dalam Sabda Zarathustra, kalian menghormati aku, namun bagaimana jika suatu hari nanti rasa hormat itu harus tumbang? Jagalah agar sebuah patung yang tumbang jangan sampai menjatuhimu sampai mati.
Sekarang mari kita menjaga penghormatan kita itu untuk Rosihan. Jangan sampai semangat yang ditinggalkannya sebagai jurnalis segala zaman memudar. Mari menjaganya agar ia tetap menjadi monumen di ingatan kita.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Lihatlah Rosihan"
Post a Comment