Politik dan kebijakan pemerintah lebih banyak merampas harapan kaum lemah, tinimbang mengayominya. Rakyat dilalaikan dengan satu program yang mengatasnakannya, sementara di balik itu mereka ‘’ditikam’’ dengan kebijakan yang menyengsarakan.
Amarty Sen, ekonomo Indi peraih nobel tahun 1998 mengungkap praktik semacam itu dalam On Ethics and Economic, yang dalam versi Indonesia buku diubah menjadi “Masih Adakah Harapan Bagi Kaum Miskin.” Sen merupakan ekonom tulen dan sekaligus filosof sosial dan etika.
Karya-karyanya banyak menyorot tentang kemiskinan akibat kesalahan kebijakan pemerintah. Studinya terhadap masalah ini mencakup kasus-kasus sejarah kelaparan di India, Banglades, Ethiopia, dan negara-negara sub-Sahara Afrika.
Apa yang diungkapkan Sen, mari kita tarik dalam kenyataan di Aceh dewasa ini. Pemerintah Aceh kita akui telah memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi rakyatnya, di sinilah rakyat “didamkan” dengan pemuasan satu hal saja. Sementara di sisi lain, rakyat kelas bawah masih kepayahan menghidupkan asap dapurnya. Harga beras terus melonjak, meski Aceh dikenal sebagai lumbung pangan dengan sawah yang menghampar luas.
Kekurangan pangan ini merupakan penyebab utama kurang terpenuhinya kesehatan rakyat. Jadi pemerintah Aceh hanya memberi pemenuhan sementara terhadap kesehatan rakyatnya, bukan menghilangkan penyebabnya. Mereka hanya memangkas akibat yang ditimbulkan.
Sen jauh-jauh hari telah mewanti-wanti tentang hal ini. Aceh setidaknya harus belajar pada apa yang diungkapkan orang India tersebut. Sen berpendapat, berbagai bencana kelaparan di dunia bukan disebabkan oleh kelangkaan pangan, tapi kebijakan pemerintah yang tak mencegah kelangkaan tersebut.
Ia berkesimpulan bahwa berbagai bencana kelaparan itu sesungguhnya bisa dicegah, seandainya ada kebebasab pers, yang mengontrol pemerintah. Ia merujuk pada kasus di India. Ternyata setelah adanya kebebasan pers di India sejak tahun 1974, India tidak lagi mengalami peristiwa kelaparan yang berarti.
Kita telah memiliki kebebasan pers itu, tapi kerap dikebiri oleh kekuasaan dengan berbagai kepentingannya. Mengkritik pemerintah saja bisa disomasi, memberitakan sebuah ketimpangan diancam dengan gugatan hukum, bagaimana pers bisa menikmati kebebasan itu. Boleh saja itu dilakukan bila pers membawa fitnah, bukan sebaliknya. Itu pun ada mekanisme penyelesaiannya yang santun sesuai aturan hukum yang berlaku.
Kembaki ke Amartya Sen, ia merumuskan pembangunan sebagai kebebasan dalam Developmen as Freedom (1999). Dalam buku ini ia menulis tentang konsep yang menyeluruh tentang pembangunan. Prof M Dawan Raharjo mengulas pemikiran Sen tersebut dalam pengantarnya Ekonom dari Shantiniketan. Shantiniketan merupakan sebuah lembaga pendidikan di India yang dimaknai sebagai tempat yang damai. Dari tempat ini pula pernah lahir peraih nobel bidang sastra, Rabindranath Tagore pada tahun 1913.
Dalam Developmen as Frededom, Sen mengatakan, pembangunan dapat dilihat sebagai proses perluasan kebebasan yang nyata yang dinikmati oleh rakyat. Artinya, pemerintah tidak merampas harapan rakyat untuk memperoleh haknya.
Pembangunan bukan hanya diukur dari pertumbuhan produk nasional bruto yang saban bulan dan tahun dirilis oleh badan pusat statistik. Tidak pula pada peningkatan pendapatan pribadi. Kita lihat di Aceh setelah perdamaian yang mampu meningkatkan pendapatannya dengan mencolok hanyalah golongan-golongan yang dekat dengan kekuasaan saja.
Sejatinya, satu gubernur berganti harus tumbuh minimal sepuluh pengusaha baru, bukan sekian banyak orang kaya baru, yang kekayaannya diperoleh dari “penjarahan” proyek-proyek pemerintahan. Aceh hari ini masih terjebak pada fenomena ini, pada upaya keut pade lam reudôk, selagi sebuah kelompok berkuasa, maka kelompok itulah yang muncul sebagai kumpulan orang kaya baru. Sementara rakyat terus mengucur peluh dalam harapan-harapannya yang disemukan penguasa.
Agar tak merampas harapan rakyat, seharusnya pemerintah Aceh memperluas kebebasan yang dinikmati oelh rakyat. Kebebasan yang bergantung pada determinan-determinan yang lain semisal pengaturan sosial-ekonomi, penyediaan fasilitas pendidikan yang bagus bukan sekedar memadai, serta pemeliharaan kesehatan. Yang terakhir mungkin sudah dilakukan melaluli Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Kembali ke Sen, dalam konsepnya, pembangunan juga butuh pemberatasan sumber-sumber utama ketidakbebasan, baik kemiskinan maupun tirani, peluang ekonomi yang sempit maupun perampasan hak-hak sosial yang sistematis. Kekurangan kebebasan ini akan membuat rakyat termiskinkan secara ekonomi dan merampok rakyat dari kebebasannya untuk menolak kelaparan. Jadi jangan ada lagi perampasan harapan rakyat oleh kelompok-kelompok yang mengakui dirinya sebagai bagian dari siberkuasa.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Perampasan Harapan"
Post a Comment