Cangkang politik yang dibangun Partai Aceh telah mampu memenangkan partai tersebut pada pemilihan legislatif 2009 lalu. Kini cangkang yang sama akan digunakan pada pemilihan kepala pemerintahan Aceh akhir 2011. Meski sudah agak retak.
Cangkang itu adalah para mantan kombatan di setiap daerah, yang jaringannya sampai ke desa-desa terpencil. Mereka yang dibangun dengan organisasi yang rapi semasa konflik, mampu memobilisasi dan mengarahkan suara pemilih di daerah-daerah. Merekalah yang membungkus kepentingan organisasi dengan idealisme dan ideologi gerakannya.
Namun tak selamanya cangkang itu memberi hasil yang diharapkan partai. Apalagi ketika muncul keretakan dalam hal dukung mendukung kandidat gubernur pada pemilukada yang akan datang. Mereka terpecahkan antara yang pro dengan mualim dalam hal ini pasangan Zaini Abdullah dengan Muzakkir Manaf, dan yang pro pada Irwandi Yusuf.
Irwandi Yusuf masih punya pengaruh dan potensi untuk memecahkan cangkang yang retak tersebut. Apalagi selama ini, dengan kekuasaannya sebagai gubernur, banyak diantara cangkang-cangkang itu yang memperoleh keuntungan ekonomi melalui berbagai proyek.
Meski demikian, politik bukanlah ilmu pasti, segala sesuatu bisa saja berubah secara tiba-tiba. Dan cangkang dalam tulisan ini hanya sebuah perumpamaan dari realita yang terjadi dewasa ini. Mengutip apa yang disebutkan Robert Greene dalam The 48 Law of Power, pada hukum ke-48 disebutkan, politik yang menggunakan cangkang sebagai pelindung akan selalu menyebabkan bencana. Cangkang sering menjadi jalan buntu bagi yang bersembunyi di dalamnya. Cangkang akan memperlambat langkah dan sulit untuk bergerak.
Politik cangkang merupakan sistem yang kaku yang dikembangkan untuk melindungi diri, suatu hari nanti akan menjadi penyebab kekalahan. Apalagi bila cangkang itu benar-benar pecah. Kenyataannya dewasa ini para mantan kombatan di lapangan sebagai cangkang politiknya Partai Aceh, sudah mulai retak. Keretakan bukan hanya dalam urusan politik semata, tapi dalam hal ekonomi juga, semisal perebutan berbagai proyek pemerintah. Hal inilah yang membuat cangkang politik Partai Aceh lalai dalam pengejaran kepuasan ekonomi sesaat, hingga lupa pada tujuan perjuangannya semula.
Penghancuran cangkang melalui pemenuhan hasrat politik dan ekonomi ini akan terus dimainkan oleh pihak lain sebagai lawan politik untuk merebut dukungan massa pada pemilihan nanti. Pihak lain akan menggunakan kekutan uang yang dinamis. Mereka akan meraup keuntungan dari lambannya gerak politik cangkang.
Sejarah politik cangkang dalam politik dunia berabad-abad silam pernah dilakoni Bangsa Athena ketika meruntukan kekuasaan Sparta pada tahun 431 sebelum masehi. Bangsa Sparta mampu mendidik tentara infantri terkuat di masa itu. Mereka mempunyai keberanian yang tak tertandingi waktu itu, mereka mampu mengalahkan pasukan lawan yang jumlahnya berkali lipat dari jumlah mereka, seperti ketika mengalahkan pasukan Persia di Thermopylae. Jika lawan melihat pasukan Sparta, mereka pasti ngeri, seolah-olah tak ada kelemahan dari pasukan ini.
Patai Aceh dulu juga memiliki kombatan yang tangguh, yang mampu melawan Jakarta dalam konflik tiga dekade. Karena itu GAM waktu itu menjadi kekuatan yang diperhitungkan dengan Teuntara Nanggroe Aceh (TNA) sebagai cangkangnya. Tak ada sebuah pemberontakan daerah di Indonesia yang mampu membawa negara untuk berdialog di luar negeri, tapi GAM dengan cangkangnya mampu melakukan itu.
Pertanyaanya sekarang, bagaimana dengan keberadaan cangkang itu? Jakarta memang luluh dan turut ketika dibawa ke meja perundingan di luar negeri. Tapi setelah itu, dengan kekuatan politik dan uang, cangkang itu dibuat retak. Jakarta malakukan pembiaran perebutan lahan antar cangkang-cangkang politik GAM. Yang dengan itu pengaruh cangkang tersebut dalam masyarakat Aceh sedikit demi sedikit memudar. Itulah kemenangan Jakarta dari politik pemecahan cangkang.
Sudah saatnya politik cangkang ditinggalkan, karena ia tidak mampu bertahan lama. Ia akan selalu hancur dalam godaan ekonomi. Sparta telah mengalami itu di Athena. Sparta pata tahun 431 sebelum masehi memang mampu menaklukkan Athena dengan pasukan terbaiknya. Tapi, pasukan terbaik di dunia yang dijadikan cangkan politik Sparta itu, tak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, sehingga ketika Athena yang kaya raya direbut, mereka sibuk dengan harta yang melimpah. Dan dari sinilah mereka runtuh sehingga Athena mampu mengalahkan Sprata kembali.
Aceh hari ini juga mengalami hal yang sama. Para panglima yang dulu garang memimpin kombatan di berbagai wilayah, kini lelap dalam gelimangan harta, malah ada kombatan yang terabaikan. Mereka sibuk dengan proyek, melupakan pasukan lama. Inilah awal dari kekalahan sebuah ideologi. Cangkan retak itu akan dihancurkan lawan.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Politik Cangkang"
Post a Comment