Garuda telah mati bersama sejarahnya. Gelombang raya menenggelamkannya ke dasar terdalam. Fisiknya bangkit dalam bentuk lain. Saban pekan hanya papan bunga yang berjejer menandakan walimah para pembesar.
Begitulah garuda kini, tempat Soekarno pernah berapi-api membakar nasionalisme orang Aceh. Hampir tak ada literatur yang menjelaskan bagaimana Garuda merawat sejarahnya. Nasib lebih parah dialami Atjeh Hotel yang pernah dikelola PT Aceh Baru Explotasi. Sudut-sudut sejarah di Kutaraja memang telah buram. Generasi sekarang tak lagi bisa menjelaskan bagaimana Soekarno pernah menangis di hadapan Abu Buereueh di hotel itu.
Ketika seorang sahabat dari negeri jiran Malaysia menanyakan tentang Garuda, tak ada yang bisa kujelaskan selain membawanya ke sana. Katanya, Garuda benar-benar sudah tidak ada lagi—aku menyebutnya telah mati—di Kutaraja. Kawan itu memperlihatkanku sebuah catatan Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh dengan gambar sampul Seokarno sedang menyampaikan pidato dengan pakaian kebesarannya.
Catatan yang masih ditulis dengan ejaan lama itu kata pengantarnya ditulis oleh Ali Hasjmy dengan jabatan Ketua Komisi Redaksi pada hitungan almanak Koetaradja achir September 1948. Di laman selanjutnya sepatah kata dari Gubernur Sumatera Utara, Mr M Amin.
Ketika kawan dari Malaysia mengabadikan Garuda yang baru yang tak lagi punya cerminan sejarahnya itu, kubuka laman-laman catatan itu. dijelaskan, pada 15 Juni 1948 pukul 12.45, pesawat Seulawah RI 002 yang membawa Presiden Soekarno dan rombongan mendarat di lapangan terbang Lhoknga.
Diantara pejabat tinggi yang ikut bersama Soekarno ada Menteri Dalam Negeri Dr Soekiman, Komisaris Negara Mr T Mohammad Hasan, ikut pula Panglima TNI bagian Sumatera Djendar Major Soehardjo. Semuanya ada 17 petinggi negara yang dibawa Soekarno ke Aceh hari itu.
Di Lhoknga mereka disambut oleh Gubernur Sumatera Utara Mr S M Amin, Gubernur Militer Djendral Major Tgk M Daud Beureueh, Residen Inspektur Toekoe Mahmoed, Residen Aceh T M Daoedsjah, serta Djendral Major Amir Hoesin al Moejahid.
Kembali ke Garuda yang telah mati. Usai membakar semangat rakyat Aceh di lapangan terbang Lhok Nga, Soekarno memberikan kursus politik kepada para pejabat Aceh di Atjeh Bioskop di Kutaraja, yang oleh kawan saya dari Malaysia itu diyakini sebagai gedung teater Garuda pada kemudian hari.
Masuk ke gedung Garuda yang tak lagi punya sejarahnya itu, kawan saya menunjuk ke arah barat. Katanya, sepengatahuannya disitu dulu ada podium tempat Soekarno menyampaikan kuliah umum kepada 800 orang dari berbakai kalangan. Sementara di luar gedung sampai ke lapangan Blang Padang ribuan orang mendengar kursus politik Soekarno dari pengeras suara.
Kuliah umum Soekarno di Garuda itu disampaikan pada pukul 21.00 WIB, setelah Gubernur Sumatera Utara Mr S M Amin menyampaikan kata sambutan. Berbeda dengan pidato yang disampaikan siang hari di lapangan terbang Lhok Nga, kali ini Soekarno tampil tidak lagi berapi-api, tapi dengan sedikit datar dan canda. Pada laman 18 catatan itu tertulis setiap apa yang disampaikan Soekarno, diantaranya:
“Saudara-saudara saya ini malam mau berbicara, saya tidak harus berpidato secara agitatie, secara berkobar-kobar, tetapi terutama sekali harus berpidato secara yang menuju kepada ketenangan pikiran….jangan kita mendengar pidato yang bergelora-gelora saja, melainkan lihatlah akan isinya pidato, jikalau sekarang pada ini malam saya hendak berbicara kepada saudara-saudara tentang hal-hal yang penting sekali tentang perjuangan kita di saat sekarang ini,”
Usai membuka mukaddimah itu, Soekarno kemudian melanjutkan kursus politiknya tentang syarat-syarat untuk pemimpin. Ia menekankan bahwa seorang pemimpin harus berpikir panjang tanpa melupakan sejarahnya. Soekarno mengungkapkannya dalam istilah Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Di mata Soekarno, seorang pemimpin harus berpikir secara historisch feiten, berpikir dengan ukuran puluhan tahun, bukan dalam hitungan hari atau pekan. “Kita harus berpikir secara in decennia en in risch, berpikir secara garis sejarah, jangan berpikir secara kejadian sehari-hari,” tegasnya dalam kuliah umum di Garuda itu.
Namun, Jasmerahnya Soekarno tidak ada lagi di Garuda. Kini Garuda telah kehilangan identitasnya. Apa yang harus kita sampaikan ketika esok orang luar datang lagi menanyakan hal yang sama. Apakah kita harus menenggelamkan Garuda lebih dalam lagi, mati semati-matinya dalam visit Banda Aceh Year tanpa sejarah ini? Entahlah.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Garuda Telah Mati"
Post a Comment