Seandainya warna itu satu, kanvas seorang seniman tidak akan berlepotan. Nelson Mandela pun tidak akan masuk penjara karena politik apartheid. Lembaran sejarah India juga tidak akan ditulis miris dalam tragedy kesusastraan dalit kontemporer.
Para pujangga semisal Gabriele Dietrich, Waman Numborka, E V Ramos Periyal, Bhimrao Ambedkar, Arun Kamble, dan beberapa nama lainnya, tidak akan pernah terinspirasi untuk menulis puisi-puisi pemberontakan. Dan, tangan See Eleana Zelliot tidak akan pernah menulis tragedy di India tersebut dalam buku “Maleikal”
Lagi-lagi seandainya warna itu satu dan pola pikir manusia sama, tak kan ada kegundahan. Gabriel Neude (1711) pun tidak akan pernah terinspirasi untuk menulis buku “Political Consideration Upon Refined Politics and The Master Stroke of State” tentang penindasan dan pemberontakan. Tradisi Konfusian di Korea juga tidak akan melahirkan seorang Dillah Yulogk (1582) pegawai kerajaan yang menentang rajanya.
Mungkin andai-andai tadi nyata adanya, Yulogk tidak akan pernah berucap kepada rajanya “Saya akan suka rela menerima hukuman apa pun yang harus saya sandang. Akan lebih mudah bagi saya mati di antara lubang batu karang, dari pada melihat rakyat mati tanpa suara.” Sung Hae Kim pun tidak akan pernah terbesit niatnya untuk merekan tragedy itu dalam bukunya “Liberation Trough Humanization: With a Focus on Korean Confucianism.”
Kalau boleh saya kembali mengulan kata seandainya, seandainya tuhan tidak menurunkan pegangan hidup umat manusia (baca: agama) penuh warna, dalam artian majemuk, mungkin tidak akan ada kata terorisme. Mohammed Atta pun tidak akan pernah merencanakan aksi 11 September 2001, yang telah menjadikan World Trade Centre (WTC) sebagai zero zone, tempat 4.000 lebih tubuh manusia tergelepar ditinggalkan ruhnya.
Milyarder Arab, Osama Bin Ladin pun tidak akan pernah menjadikan gua di celah Gunung Ciberg di kawasan perbatasan Afganistan sebagai istananya. Kemudian Saddam Husein pun tidak akan pernah disebut sebagai “tikus got” karena bersembunyi dalam sebuah bunker di tanah kelahirannya, Tikrit, Irak Utara dari incara pasukan koalisi Amerika.
Tapi dunia ini tidaklah dibangun dengan kata seandainya, dan warna itu memang majemuk adanya. Kalau warna bendera dan lambang para kontestan pemilu itu sama, tak kan ada kerusuhan saat kampanye. Tak kan ada pembunuhan hanya karena perbedaan kaos oblong partai. Karena warna itu jamak, maka ribuan bendera dan umbul-umbul pun lahir, mewakili kelompok tertentu.
Menariknya, mencermati keragaman warna itu, seorang kawan dengan nada agak pesimis mengomentari berbagai warna dan simbul yang digunakan partai peserta pemilu kali ini. Katanya, warna kuning sering dianggap sebagai simbul orang-orang musyrik.
Warna biru laut juga sama. Biru atah blue dalam budaya Anglo Saxon sering diidentikkan dengan sesuatu yang berbau mesuem, jorok, dan porno. Makanya film porno disebut blue film. Lalu ranjang tidur para pelacur juga disebut blue valvet. Itu kata kawan saya. Bukan kata saya.
Kemudian warna hijau disebutnya sebagai simbul yang bersifat keduniawian (ardhi). Di kalangan masyarakat Jawa tradisionil, warna ini sering diidentikkan dengan hal-hal mistik. Hal itu didasai pada warna hijuanyua Nyi Roro Kidul.
Lalu saya menyanggah. Bukankah warna hijaunya Nyi Roro Kidul sampai kini masih diperdebatkan? Ada yang bilang hijau daun, hijau seperti bendera Lybia, bahkan ada yang bilang hijau flourrescent. Nah, bukankah itu menunjukkan bahwa penyebutan warna itu sendiri belum jelas. Lalu bagaimana memaknai ketidakjelasan tersebut?
Khusus untuk warna hijau yang juga disebut ijo, saya teringat pada kejadian dua bulan lalu. Beredar kabar kala itu bahwa di Jawa ada yang namanya kolor ijo, yang suka mengganggu wanita. Lucunya, sampai sekarang bagaimana bentuk moncongnya kolor ijo itu tidak ada yang tahu. Malah, dua orang wanita yang sempat melapor ke pihak kepolisian bahwa pernah diganggu kolor ijo, kemudian menarik kembali laporannya.
Soal warna putih, lain lagi komentar kawan saya. Meski saya bilang warna putih itu sudah kandung dianggap warna yang suci, kawan saya malah mengatakan sebaliknya. “Warna putih itu symbol kematian, kafan itu putih lo,” bantahnya, sambil mencontohkan budaya kremasi di India. Setiap orang yang mengikuti upacara pembakaran mayat di negeri Hindi itu, selalu mengenakan pakaian warna putih.
Lalu saya balik bertanya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang dalam pemilu kali ini menamai dirinya golongan putih (golput) apakah mereka orang-orang mati? Kawan saya tidak mampu menjawab, ia hanya garuk-garuk kepala, karena ia juga golongan orang yang paling getol menyuarakan golput pada pemilu kali ini.
Setelah warna, kawan saya itu kemudian juga mengomentarai lambang partai kontenstan pemilu. Katanya, gambar sapi atau sejenisnya, mengingatkan kita pada pemujaan anak sapi oleh kaum Samiri di zaman Nabi Musa, yang melambangkan jiwa materialistik. Lalu symbol matahari disebutnya sebagai simbul orang Majusi yang memuji matahari dan api sebagai dewa.
Soal warna kuning, saya juga memprotesnya. Saya katakana bahwa warna kuning itu lambang kemuliaan. Setidaknya itu berlaku dalam penganut agama Budha. Bukankah para rahib yang jamak dianggap sebagai orang suci dalam agama tersebut selalu mengenakan warna kuning sebagai penutup tubuhnya?
Lalu warna hijau dikalangan umat islam dianggap sebagai warna kesejahteraan, kata saya. Warna biru sebagai cerminan bentuk kesetiaan, kata saya. Kawan saya diam. Ia hanya berkata singkat. “Itulah demokrasi. Beda pendapat bukanlah hal yang haram.”
Penyebutan definisi yang tersirat dalam warna dan simbul tadi memang agak parsial, materialistis, pesimistis, dan minimize. Yang jelas warna-warni itu merupakan pemberian Tuhan yang banyak mengandung makna di dalamnya.
Bayangkan apa jadinya bila di dunia ini hanya ada satu warna saja. Apa jadinya bila semua mahkluk di dunia ini warnanya hitam semua, atau merah semua dan sebagainya. Bukankah seni yang indah itu penuh kreasin dan warna, tidak monoton.
Bila digali secara holistic dan komprehensif, simbul dan warna itu sifatnya abstrak. Makna warna warni sangatlah tergantung pada “ghiroh” dan niat masing-masing individu, kelompok atau masyarakat yang memakainya.
Warna memang bisa menyatukan dan memecahkan. Sebut saja apa yang menimpa seorang pemuda di Yogjakarta, yang mengenakan jaket warna merah, yang notabenenya tanpa embel-embel partai atau apa saja. Saat terjadi demonstrasi, segelintir aktivis menggebuknya hingga babak belur.
Kemudian tragedy di Poso dan Sampit. Bukankah karena adanya kelompok putih dan kelompok merah, konflik itu menjadi agak awet, puluhan mesjid dan gereja menjadi arang. Belum lagi korban jiwa. Haruskah hanya karena beda simbul dan warna kita saling menganiaya? Jangan terjebak pro atau kontra sebuah partai hanya karena perbedaan simbul dan warna.***
Peunayong, Banda Aceh, 3 April 2004
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Seandainya Warna Itu Satu"
Post a Comment