Kali ini kutulis lagi tentang penjabat; orang yang kebagian jabatan, yang memiliki kekuasaan atas jelata. Namun, sering kulihat kekuasaan berwajah ganda, seperti kata Profesor Franz Magnis Suseno, adakalanya begitu memesona, di lain kala menakutkan.
Ya, menakutkan ketika aliran dana untuk jelata dikuasai si berkuasa sekehendak hati. lihat saja kasus terbaru, Rp20 miliar kas daerah Aceh Utara disalahgunakan. Dari total Rp220 miliar simpanan milik Pemkab Aceh Utara di Bank mandiri cabang Jelambar, Jakarta, Rp20 miliar diantaranya bobol.
Alih-alih menelusuri aliran dana itu, penjabat malah saling sibuk membantah, mencari dalil pembenaran bahwa mereka tak salah. Ironi memang ketika penangan banjir dan pembangunan rumah korban konflik belum terpenuhi, dana itu malah diendapkan di Jakarta.
Di balik kekuasaan yang berwajah ganda itu, ada penjabat yang ingin menarik fee dari dana tersebut. Norman dan nilai kekuasaan pada masa lalu mengajarkan kita untuk malu bila mendustai nurani rakyat, tapi sekarang konon berani mengelabui aturan untuk menarik keuntungan di atas pundak rakyat.
Akhirnya, ketika aksus ini muncul ke permukaan, hanya akan mengantarkan penjabat kuasa itu sendiri menjadi celaan rakyat. Tapi yang pasti jabatan dan kekuasaan tidak pernah tercela. Yang tercela adalah manusianya yang bermental korup, yakni penjabat jabatan itu sendiri.
Di sisi lain, kekuasaan semakin rapuh dan jauh dari norma, karena dikelilingi kemunafikan. Orang-orang yang dulunya bersih dan diharapkan mampu memberi warna baru, malah ikut terseret dalam sistem hitam yang menolak abu-abu apalagi putih memang tak ada.
Ada satu dua yang bersih tapi ragu merebut kekuasaan. Tapi yang jelas, keragu-raguan yang jujur lebih baik daripada keyakinan yang ngambang dan setengah-setengah. Benci yang terbuka secara jantan lebih baik dari jenis kesetiaan yang palsu. Musuh yang cerdas akan lebih baik dari kawan yang dungu. Pertanyaannya sekarang siapa yang berani memusuhi penjabat kekuasaan itu?
Sebuah sistem kekuasaan yang dipermukaan tampak tertib, teratur, jelas, rapi dan pasti, ternyata hanya kamuflase yang penuh dengan ketidak pastian—setidaknya begitu kata Charles Stamford dalam The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory—ada saja celah aturan yang dikuak untuk menarik keuntungan aatas dana publik.
Simpanan uang Rp220 miliar yang bobol Rp20 miliar itu merupakan salahs atu bukti nyata. Untung cepat terungkap, kalau tidak, dana itu mungkin akan mengalir dalam kantong si penjabat kekuasaan dengan beragam kamuflasenya.
Kamuflase bisa lahir dari beragam keinginan. Filosof asal Inggris, Bertrand Russel mengatakan, manusia memang punya aneka keinginan yang tak terhingga. Manusia berangan-angan, dengan itu ia hidup, meski harus mengelabui aturan yang ada.
Moga cang panah ini tidak menyengat si penjabat yang menunggangi kekuasaan. Tak ada maksud apa-apa, selain aku ingin merdeka sebagaimana dikatakan penulis Rusia, Vladimin Bukovsky pada September 1968. Jauh 12 tahun sebelum aku dilahirkan. Katanya, kemerdekaan menyatakan pikiran adalah pertama kali kemerdekaan untuk mengkritik. Tak ada yang melarang memuji pemerintah, maka aku bersyukur ketika mengkritikpun tidak dilarang.[iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Penjabat"
Post a Comment