Kejahatan selalu selangkah lebih maju dari penegakan hukum, tapi tak ada kejahatan yang sempurna alias cacat adanya. Kecacatan itu pula titik awal pengungkapannya. Namun konspirasi elit kadang mengaburkannya dari putih ke abu-abu, malah jadi hitam. Tugas penegak hukum untuk memutihkannya kembali atau minimal abu-abu.
Warna hitam kelam itu pekan ini terkuat di Aceh Utara. Kasus bobolnya kas daerah tersebut Rp20 miliar yang melibatkan sejumlah nama pejabat mulai terungkap. Ada konspirasi elit tingkat tinggi untuk mengelapkan uang rakyat.
Sangat ironis, ketika salah seorang pengacara yang juga aktivis anti korupsi terlibat di dalam konspirasi ini. Mungkin inilah yang dikatakan sebagai lembaga angin-anginan, gugat dulu tarik setoran kemudian, hingga yang bersangkutan mendapat fasilitas merapat ke kekuasaan.
Ketika sudah masuk dalam kekuasaan, bagai sudah mendapat angin, ia tahu kapan menaikkan layangan. Konspirasi pun dirancang untuk menarik upeti dari pengelolaan uang rakyat, maka korupsi berjamaah pun terjadi. Pertanyaannya sekarang, mengapa kas daerah Aceh Utara harus disimpan di rekening Bank Mandiri, Jelambar, Jakarta sampai Rp220 miliar yang kemudian diketahui bobol Rp20 miliar.
Disinilah konspirasi tingkat tinggi untuk mengelabuhi hukum terjadi. Seandainya mau menyimpan dana tersebut di Bank Mandiri, mengapa tidak di Aceh Utara saja, bukankah bunga bank tersebut sama di seluruh cabangnya di Indonesia?
Jawabannya sederhana saja, mereka yang terlibat dalam konspirasi ini ingin membuat persoalan hukum jadi rumit. Birokrasi dan biaya pengungkapan akan tinggi bila kasus ini terkuak, karena tempat kejadian perkaranya (locus delicti) di luar Aceh yakni di Jelambar, Jakarta. Seandainya locus delicti di Aceh Utara maka tak perlu birokrasi panjang untuk mengungkap kasus ini.
Namun mengulang kata pembuka cang panah ini, tak ada kejahatan yang sempurna. Celah cacat dari konspirasi menunjukkan titik menuju terang dari kasus tersebut. Inilah lubang yang bisa digunakan untuk mengintip konspirasi yang utuh untuk pengungkapannya. Bila diibaratkan ini seperti lubang kunci yang akan membuat orang di luar bisa melihat isi kamar melalui celahnya. Kamar yang saya maksud di sini adalah kasus konspirasi dan korupsi itu sendiri.
Bicara soal korupsi, saya langsung teringat pada Rober Klitgaard, seorang profesor tersohor di The Rand Graduate School. Ia merupakan konsultan ahli korupsi di 21 negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Berbicara soal korupsi ia sering mengatakan kalua dirinya bukan ahli korupsi, tapi ahli tentang program anti korupsi. Ketika masih menjadi konsultan di Word Bank, doktor ekonomi lulusan Harvard ini pernah ditugaskan di Equatorial Guinea.
Pengalamannya tentang program anti korupsi di negara tersebut dituangkan dalam sebuah buku bertajuk “Tropical Gangster” yang berisikan tentang praktik korupsi yang diamatinya di negara kecil Afrika itu.
Setelah menerbitkan buku-buku itu, ia mulai mengamati praktik-praktik korupsi secara keseluruhan di beberapa negara lainnya. Ia pernah tinggal beberapa lama di Bolivia, kemudian berkelana ke Filipina, Hongkong, Singapura, Korea, dan Ruritania.
Dari pengalamannya di negara-negara tersebut, pada tahun 1988, ia menulis buku tentang pengawasan korupsi, “Controlling Corruption” yang sepuluh tahun kemudian terjemahannya diterbitkan di Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia dengan judul “Membasmi Korupsi”
Untuk membasmi korupsi menurutnya, harus ada seperangkat nilai dan kaidah kejujuran dalam masyarakat. Transparency International, sebuah LSM yang berpusat di Berli menyebutkannya sebagai system integritas nasional. Tanpa adanya system tersebut, seseorang akan mudah melakukan korupsi tanpa pernah merasa bersalah telah memakan uang rakyat.
Pertanyaannya sekarang, beranikah penegak hukum mengungkap kasus ini hingga tuntas, atau jangan-jangan malah terlibat menjadi bagian baru dari konspirasi elit ini. Jumlah Rp20 miliar bukanlah sedikit untuk dinikmati bersama. Kita lihat saja nanti, beranikah polisi dan jaksa membawa kasus ini ke pengadilan. Lalu tegaskah hakim dalam mengetuk palu vonisnya? Atau malah tergiur untuk ikut menikmati cipratan dana Rp20 miliar itu.
Bagaimana pun konspirasi elit bisa mengaburkan hukum dengan sangat halus. Katakanlah vonis tinggi dijatuhkan, tapi akan tidak bermakna ketika hanya hukuman percobaan, karena pelaku tetap bebas di luar tanpa kurungan badan. Moga saja konspirasi yang sudah ada dalam kasus bobolnya kas daerah Aceh Utara tidak bertambah gemuk dengan masuknya elit-elit baru dari jajaran penegak hukum.
Rakyat butuh ketegasan bung! Atau kalau tidak, apakah kami harus mengeja kata “Tropical Gangster” karya Profesor Rober Klitgaard hingga Anda tahu bagaimana seharusnya penegakan hukum itu dilakukan? ***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Konspirasi"
Post a Comment