Kehidupan masyarakat Aceh beralih dari satu pesta kenduri ke pesta lainnya, dari satu warung ke warung lain pula. Setiap suduh kota dan desa juga bertengger ragam warung penggugah selera. Dalam hiruk pikuk perang pun masih ada kenduri bersama. Pertanda kita kaum yang congok?
Dari dulu, pada setiap acara meusapat (musyawarah) di Aceh selalu dibarengai dengan acara makan-makan. Baik yang disediakan oleh orang kaya sebagai donatur, maupun dari acara meurepe (patungan).
Sebut saja pada acara turun ke sawah. Permulaan turun ke sawah yang dimulai dengan khanduri blang. Sebelum kenduri dilaksanakan, keujruen blang akan memberitahukan kepada setiap petani untuk melakukan kenduri di tempat-tempat tertentu, seraya mengutip biaya dari ureueng meugoe.
Biasanya uang yang terkumpul dipakai untuk membeli lembu atau kambing, yang akan disembelih pada acara kenduri. Sementara nasi dibawa sendiri oleh petani. Nasi yang dibawa biasanya bu kulah, yang akan dimakan setelah acara berdoa bersama untuk kemakmuran, mengharapkan hasil pertanian yang baik dilaksanakan.
Kenduri itu harus dihadiri oleh Keudjruen Blang, Keuchik, Teungku Meunasah, Orang-orang tua kampung dan petani-petani serta para undangan lainnya. Pada kenduri itu di bacakan doa selamat oleh Teungku Meunasah yang bersangkutan. Yang berwajib menetapkan tanggal turun kesawah (membajak dan lain-lain), sehingga serentak untuk mencegah bahaya hama tikus dan sebagainya. Dulu maklumat ini berlaku untuk seluruh wilayah Ulee Balang yang bersangkutan.
Setelah kenduri dan berdoa usai, keujruen blang akan menaikkan pupanji ( umbul-umbul) sebagai tanda bahwa turun ke sawah dimulai. Untuk permulaan turun ke sawah dipasang pupanji warna hijau. Setelah sawah selesai digarap pupanji diganti dengan warna merah.
Pupanji warna merah itu bermakna top blang, yakni tanda atau aba-aba dari keujruen blang bahwa semua sawah harus sudah ditanami. Hal itu dilakukan agar masa panen padi di sawah serentak. Jika padi di sawah sudah menghijau, kembali dilakukan kenduri, tapi pada kenduri ini tidak duilakukan penyembelihan hewan. Ini hanya kenduri kecil-kecilan.
Setelah di sawah, kenduri juga dilakukan di laut. Setiap daerah pesisir di Aceh, saban tahun atas anjuran Panglima Laôt setempat, setelah habis masa musem barat, masa laut berombak besar, untuk memulai turun ke laut kembali, karena laut sudah tenang, diadakan kenduri turun ke laut.
Kenduri ini bisanya diadakan di kuala (muara sungai). Untuk keperluan kenduri itu, para nelayan memberikan sumbangan sebanyak yang telah di tetapkan oleh panitia. Uang ini harus dibayar lebih dahulu dan sesudah itu, barulah diadakan kenduri laut.
Sebelum acara makan-makan, diadakan pembacaan doa keselamatan. Sesudah kenduri, Pangliam Laôt akan menetapkan satu hari dalam seminggu tidak boleh melaut, biasanya hari Jum’at. Jika ada yang melanggar maka akan diambil tindakan. Seperti, misalnya menahan perahu dan alat-alat mencari ikan untuk beberapa lama, sehingga dia tidak dapat melakukan pekerjan yang menjadi mata pencahariannya. Zaman dahulu, pelanggar aturan tersebut akan dilaporkan dan disidangkan pada tingkat Ulee Balang.
Ada juga kenduri di tambak (khanduri neuheun) yang akan dipanen. Dalam kenduri ini juga sangat kental pengaruh budaya hindu. Hal ini seperti diungkapkan oleh sejarahwan Belanda J C van Luer. Menurutnya, sebelum kedatangan Islam dan bangsa barat, kebudayaan Aceh telah diisi oleh landasan hindu sentris (Indonesian Trade and Society, halaman 261).
Salah satu sisa-sisa budaya hindu itu adalah pada acara kenduri tambak. Untuk kenduri tersebut dipotong ayam putih dan ayam hitam di daka (pintu air). Ayam itu kemudian dimasak. Paha, hati, dada ayam tersebut, baik yang dimasak, dipanggang, maupun digoreng, dibungkus dengan daun pisang. Bungkusan-bungkusan itu kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperi sampan, yang kemudian dipasang di sebatang pohon atau kayu di tengah tambak sebagai sesajian.
Menurut Prof Dr H Aboebakar Atjeh (1972) sejarahwan Aceh, pengaruh hindu dalam acara-acara kenduri (budaya) Aceh itu sudah ada sejak zaman purba kala, seperti ditulis oleh banyak pakar ketimuran Belanda tentang Aceh.
Di Aceh zaman dahulu juga dikenal adanya kenduri lada. Perkebunan lada yang banyak terdapat di Aceh tempo dulu, membuat Aceh dikenal sebagai produsen lada. Biasanya setiap tahun setelai usai panen lada, maka di seuneubôek-seuneubôek (perkebunan) diadakan kenduri.
Sebelum kenduri dilakukan, para Peutua Seuneubôek, melakukan musyawarah, untuk mengumpulkan biaya acara kenduri. Kadang kala kerbau atau sapi yang akan disembelih dalam kenduri tersebut disumbang oleh Ulee Balang daerah yang bersangkutan.
Keuchik, Teungku Meunasah, Pembesar-pembesar dan para undangan lainnya turut mengahadiri kenduri tersebut, disamping aneuk seunebôk yang berkepentingan. Untuk keperluan kenduri itu, kadang kala juga diadakan ripe, yakni meminta sumbangan, kepada yang berkepentingan di seunebôk masing-masing. Kenduri diakhiri dengan membaca doa selamatan dan bermohon rahmat serta mensykuri nikmat tuhan atas berkah rahmat dari hasil panen.
Soal kenduri masyarakat Aceh memang tidak kenal waktu. Dalam kancah perang sekalipun acara makan-makan itu tetap dilaksanakan. Hal ini seperti ditulis oleh H C Zentgraaff, wartawan perang Belanda di Aceh dalam bukunya “Atjeh”. Menurutnya, Pada 31 Desember 1901. di Kuta Blang Jeurat, diadakan sebuah kenduri syukuran. Sebuah kambing besar akan disembelih untuk peganan acara kenduri itu. Pada saat yang sama, pasukan marose Belanda pimpinan Heynen, yang kelelahan dan kelaparan melewati daerah tersebut.
Mereka pun mengepung daerah yang letaknya agak rendah di lereng bukit itu. Pasukan Heynen melihat dengan jelas acara persiapan kenduri itu. Mereka yang sudah kehabisan bekal makanan untuk operasi pun segera menyerang warga yang mengadakan kenduri itu. Sasaran utama mereka adalah kambing besar yang sudah disembelih warga.
Dalam sebuah laporan militer Belanda, Militaire Tijdschrift, peristiwa itu digambarkan, karena khawatir tidak kebagian daging kambing itu, para marsose saling sikut dan rebut sesamanya. Namun usaha mereka untuk merebut daging kambing itu mendapat perlawanan dari orang-orang Aceh di tempat itu. Seorang marsose dari Ambon bernama Mruku, ketika mencoba merebut kambing itu mendapat luka parah kenak dua kali sabetan pedang masyarakat Aceh.
Pertempuran yang tak imbang itu berlangsung singkat. Untuk mendapat daging kambing tersebut, marsose membantai 79 masyarakat yang hadir pada acara kenduri itu. Sementara dipihak Belanda, dua orang marsose mati dan 24 luka-luka.
Mungkin karena sering melakukan acara kenduri itu pula, orang luar menilai orang Aceh congok, yang dalam budayanya selalu dibarengi dengan acara makan-makan. Dalam masyarakat Aceh, orang congok disebut sebagai geureuda deuk. Jadi dari rentetan acara kenduri ke kenduri lainnya, benarkah kita ini kelompok geureuda deuk yang congok?
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Kita adalah Kaum Congok"
Post a Comment