Dalam hidup ini, tidak ada orang yang tidak dapat melakukan sesuatu. Tidak ada pula yang sanggup melakukan segala hal. Ada batas kemampuan dan ketakmampuan. Antara keduanya sering salah terselip sebagai hasil yang gagal. Tapi itu sebuah kewajaran. Yang tidak wajar adalah ketika tidak pernah salah dan tidak mengaku salah sebagai ketidakbenaran.
Tak selamanya sesuatu itu hebat dan tak selamanya pula tidak mampu. Kata kawan saya punya kawan, yang penting adalah kerja keras untuk mencari inspirasi kebenaran. Bila salah tetap saja muncul, ada kritik construktif yang akan mengingatnya untuk kembali pada koridor kebenaran.
Kritik harus dipandang sebagai pencerahan. Cuma kita perlu memilah milah construktif-kah dia atau destructif. Kita tak punya banyak waktu untuk melakukan semua kesalahan, makanya belajarlah dari kesalahan orang lain, sebagai inspirasi untuk kemajuan.
Nah, pada bagian ini, kawan saya punya kawan bilang. Katanya begini. “Jangan berprinsip dengan kesalahan, karena tak ada gunanya jadi pahlawan dari ego dan cerita yang kita rangkai sendiri.”
Kawan itu kemudian mengutip kata Ernes Newman, bahwa orang-orang hebat di bidang apa pun bukan baru bekerja karena mereka terinspirasi, tapi mereka menjadi terinspirasi karena mereka lebih suka bekerja. Tak perlu menyia-nyiakan waktu untuk menunggu inspirasi.
Lalu kawan saya yang punya kawan satunya lagi ikut berceloteh. Ia bilang, agar inspirasi itu terawat dan tidak mandeg, kadang kala pengkhianatan dibutuhkan. Pengagum filsuf Frusia, Friedrick Wihelm Nietzche itu menarik kesimpulan sendiri. “Aku bebas menjadi apa yang aku inginkan, karena aku adalah tuan bagi diriku sendiri. How one becomes what one is,” katanya mengutip Nietzche yang paling bahagia mendengar suara dan melihat wajahnya sendiri tanpa bayangan orang lain.
Menimbang kata-kata kedua kawanku punya kawan itu. Aku bingun. Semula ingin cari inspirasi malah tak mendapatkan apa-apa. Namun meski begitu, dalam ketidakmampuanku menimbang keduanya. Aku harus tetap menjadikannya sebagai bagian dari penggalian inspirasi itu sendiri. Ini tak ubahnya yang disentil Kautilya dalam kisah India klasik ”The Arthashastra” , mustahil untuk tidak mencicipi madu dan racun yang sudah di ujung lidah.
Dalam ketakmengertianku, aku tetap mencoba memahaminya. Aku harus percaya diri. Terngiang di telingaku apa yang pernah diucap Wiston Churchill di parlemen Inggris. Katanya, kalau kita sudah kehilangan percaya diri, berarti nasib kita memang sudah ditentukan demikian. Tentu aku tidak mau begitu. Madu dan racun tetap saya kutimang-timang di ujung lidah.
Antara menelan atau tidak, aku jadi ragu bersikap. Aku pun kesakitan. Untuk mengobatinya, aku pun mengutip mantra, these pitiless remedies invanted in the name of pity. Obat tak berbelas kasihan yang ditentukan atas nama belas kasihan. Aku pun sembuh. Buktinya, cang panah atas nama inspirasi ini kelar juga kutulis sebagai permulaan.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Inspirasi"
Post a Comment