Tgk Syik Di Tunong, suami Cut Mutia tewas di tiang gantungan. Belanda menghormatinya sebagai musuh yang perkasa.
Tgk Syik Di Tunong merupakan salah seorang Uleebalang Keureutoe, kini Aceh Utara. Daerah kekuasaannya berada di tunong (selatan-red) makanya ia digelar Tgk Syik Di Tunong.
Belanda menakutinya karena ia ahli bermain pedang dengan gaya tebasan puncak (how bovenop).
Tebasannya mulai dari bahu tembus ke rongga dada. Di Desa Meurandeh Paya, Lhokseukon, Aceh Utara, 16 pasukan Belanda tewas dicincang dengan gaya sabetan ini oleh pasukan Tgk Syik Di Tunong.
Pada Juni 1902, Tgk Syik Di Tunong menyergap sebuah datasemen pasukan infantri pimpinan Van Steijn Parve yang berkekuatan 30 orang serdadu. Delapan serdadu Belanda tewas dalam penyergapan itu.
Pada Agustus 1902, ia juga menyerang sebuah konvoi anggkutan Belanda dari Simpang Ulim, yang dikawat 20 bayonet. Sampai di kawasan Meunasah Juero, pasukan Tgk Syik Di Tunong yang bersenjatakan kelewang, menyerang secara tiba-tiba.
Dalam serangan itu, tujuh orang militer dan komandannya tewas. Tiga orang serdadu “inlander” melarikan diri. “Hanya seorang serdadu Eropa bernama Fortier yang tinggal mempertahankan datasement tersebut, sampai tiba bantuan 40 militer dibawah pimpinan Van Geel Gildmeester,” tulis Zentgraaff dalam buku Atjeh tentang peristiwa penyerangan itu.
Serangan paling spektakuler dilakukan Tgk Syik Di Tunong pada November 1903. Kala itu, sebuah pasukan patroli Belanda dengan kekuatan 45 bayonet pimpinan Letnan Kok, melakukan patroli ke daerah Sampoy Niet. Untuk sampai ke daerah itu, mereka harus menyebrang sungai yang dalam.
Belanda pun menggunakan perahu masyarakat setempat untuk mneyusuri sungai tersebut. Di malam buta, di tepi sungai, kelompok Tgk Syik Tunong sudah menunggu. Ketika perahu-perahu itu sampai di tengah sungai, pasukan Aceh melakukan tembakan sebagai isyarat. Para pejuang Aceh yang mendayung perahu-perahu itu pun terjun ke sungai menyelamatkan diri, setelah mencabut tambal perahu yang sengaja dibocori. “Seluruh anggota pasukan itu tenggelam, 42 senapang hilang dan Letnan Kok bersama 28 militer mati tenggelam,” lanjut Zentgraaff.
Setelah kejadian itu, Belanda pun semakin gencar melakukan serangan terhadap kelompok Tgk Syik Di Tunong. Gerilayawan Aceh pun semakin terdesak, sampai akhirnya pada 5 Oktober 1903, ia bersama pasukannya menyerahkan diri di Lhokseumawe. Belanda pun memperlakukannya dengan baik. Tgk Syik Di Tunong kemudian diizinkan untuk kembali tinggal di Keureutoe.
Namun cerita belum berakhir. Menyerahnya Tgk Syik Di Tunong hanya siasat semata, kalau tak elok disebut sebagai upaya “tipu Aceh” untuk rehat dari kelelahan panjang akhibat gerilya.
Pada 26 Januari 1905, sebuah patroli Belanda dibawah pimpinan Sersan Vollaers, dengan kekuatan 16 bayonet, melakukan patroli rutin. Karena kelelahan, mereka pun istirahat dan membuat bivak di Desa meunasah Meurandeh Paya, sebelah timur Lhoksukon.
Beberapa pejuang Aceh pun kemudian menyeru sebagai pedagang buah-buahan, ayam dan sebagainya. Dalam keranjang dagangan itu telah diselip pedang, rencong, dan senjata tajam lainnya.
Salah seorang pejuang Aceh yang menyamar itu pun kemudian meberikan isyarat untuk menyerang. Dengan serentak dan dadakan, pasukan Belanda itu pun ditikam dan dicincang. “Seluruh anggota militer itu punah ditewaskan dengan senjata tajam, dan yang pertama menjadi korban adalah sang komandan. Dari 17 anggota militer itu, 16 gugur. Hanya seorang fuselir inlander saja yang berhasil menyelamatkan diri,” tulis Zentgraaff.
Fuselir Inlander itu pun kemudian melaporkan hal itu kepada Swart, seorang komandan militer Belanda di Lhokseumawe, yang kemudian menjadi Jenderal. Dengan sangat tergesa-gesa, Swart bersama pasukannya kemudian menuju Meurandeh Paya. Di sana ia menemukan 16 mayat tentara Belanda yang tercincang secara mengerikan.
Kebanyakan dari korban itu, mendapat tikaman tradisional pada lehernya di dekat bahu sebelah kiri, yang terkenal dengan sebutan ‘coup de maitre’ Aceh.
Swart kemudian memerintahkan bawahannya untuk melakukan penyelidikan, siapa aktor dibalik penyerangan tersebut. Dari beberapa kali pemeriksaan, Belanda menyimpulkan, Tgk Syik Di Tunong yang telah menyerah kepada Belanda sebagai otak dari pembunuhan 16 tentara belanda tersebut.
Namun, Tgk Syik Di Tunong tetap berpenampilan seperti biasa, seolah-olah ia tidak tahu menahu soal insiden itu. Swart dengan bantuan letnan Van Vuuren pun terus menerus mengamati gerak-geriknya. Pada 5 Maret 1905, Tgk Syik Di Tunong datang ke Lhokseumawe untuk suatu keperluan.
Para serdadu Belanda pun bersembunyi dalam bivak untuk menangkapnya. Saat ia masuk, Van Vuuren meminta kepada Tgk Syik Di Tunong untuk menanggalkan rencong dan kelewangnya. Ia pun terkejut dan sadar bahwa Belanda sudah mengetahui kedoknya. Hari itu juga ia ditangkap tanpa perlawanan.
Tgk Syik Di Tunong kemudian dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Tapi Van Daalen, sebagai Gubernur Hindia Belanda di Aceh menghargainya sebagai seorang penglima pejuang Aceh yang gagah berani dan itu menurutnya patut dihormati. “Dia berhak mendapat kematian yang terhormat, dan Van Daalen merubah vonis itu menjadi hukuman tembak mati,” jelas Zentgraaff. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tgk Syik Di Tunong Spirit Cut Mutia"
Post a Comment