1 September 1954, dari Amerika Hasan Tiro mengultimatum Pemerintah Indonesia. Sempat ditahan di Ellis Island, tapi bebas dengan jaminan. Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun dikibarkan.
Rabu siang (24/9) sebuah pesan singkat dari juru bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Ibrahim Syamsuddin masuk ke telpon genggam para wartawan. Seperti biasa pria yang disapa KBS itu selalu menyebar ragam info kepada jurnalis.
Tapi hari itu agak beda. Pesan sang juru bicara megabarkan sidang akbar tentang kepulangan pimpinan tertinggi GAM, Hasan Tiro. Kantor Partai Aceh (PA) di Banda Aceh pun sesak dengan wartawan. “Ini baru berita,” kata Arif salah seorang jurnalis. “Wali akan kembali 11 Oktober nanti,” jelas KBS didampingi Ketua PA, Muzakkir Manaf dan Juru Bicara PA, Adnan Beuransyah.
Kepulangan Hasan Tiro ke Aceh sudah lama dinantikan. Apalagi pada masa orde baru, ia pernah enam kali diisukan meninggal. Bagaimana sebenarnya kondisi pria berusia 83 tahun itu.
Tanda tanya inilah yang membuat berita kepulangan Hasan Tiro agak gempar. Ditambah lagi upaya Pansus XI Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang sedang menyusun Qanun Wali Nanggroe.
Ditubuh GAM, wali nanggroe itu hanyalah Hasan Tiro, pria yang tak lekang dari simpul sejarah Aceh. Cornelis Van Dijk, sejarawan asal Rotterdam, menyebut Hasan Tiro sebagai seorang yang memiliki inteligen tinggi, berpendidikan baik, yang diberkahi dengan kombinasi yang jarang terdapat pada orang kebanyakan, yakni pesona dan keteguhan hati (Burham: 1961).
Pada masa kolonial Belanda menjajah Aceh, Hasan Tiro muda merupakan salah seorang murid kesayangan Teungku Muhammad Daud Beure’eh di Madrasah Blang Paseh, Sigli. Sedang dalam masa pendudukan Jepang, Hasan Tiro belajar di pendidikan normal Islam. Sebuah tempat yang kemudian menjadikannya “anak emas” Said Abubakar, seorang tokoh pendidikan Aceh waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka, Hasan Tiro berangkat ke Yojakarta untuk belajar di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. Tamat kuliah ia kembali ke Aceh untuk bekerja pada pemerintah darurat Indonesia, pimpinan Perdana Menteri Syarifuddin Prawiranegara.
Pada tahun 1950, Hasan Tiro menjadi salah seorang diantara dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia yang mendapat bea siswa untuk melanjutkan pendidikan pada fakultas hukum, Universitas Columbia, Amerika Selatan. Sambil kuliah Hasan Tiro bekerja pada Dinas Penerangan Delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Memasuki tahun 1954, ia melakukan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik Indonesia, dengan manamakan dirinya sebagai Menteri Berkuasa Penuh dan Duta Besar Republik Islam Indonesia/Negara Islam Indonesia di PBB dan Amerika Serikat.
Puncaknya, pada 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo, yang dianggapnya telah bertindak fasis komunis. Surat terbuka Hasan Tiro tersebut disiarkan oleh beberapa surat kabar Amerika dan beberapa surat kabar di Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po.
Dalam surat itu, secara terang-terangan Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara.
Hasan Tiro juga mengancam akan mengadukan Pemerintah Indonesia di hadapan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal terhadap para ulama di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia juga akan memperjuangkan pengakuan internasional baik moril maupun materil terhadap Republik Islam Indonesia.
Bila tuntutannya tidak dipenuhi, Hasan Tiro mangancam akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia.
Menanggapi surat Hasan Tiro itu, Pemerintah Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menolak semua tuntutan Hasan Tiro. Sebaliknya, meminta agar Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik.
Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain. Ia tidak menghiraukan permintaan itu. akhirnya paspornya pun dicabut. Ia kemudian ditahan oleh pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan. Setelah bebas, sang wali kembali melakukan upaya politik yang menyerang Pemerintah Indonesia. Ia mengumumkan sepucuk surat di surat kabar New York Time.
Pada tahun 1955, Hasan Tiro mengirim surat kepada 12 negara Islam di dunia. Isinya, meminta kepada pemerintah 12 negara Islam itu untuk memboikot Konferensi Asia Afrika (KAA) yang akan dilaksanakan di Bandung pada April 1955.
Secara diam-diam Hasan Tiro kemudian kembali ke Aceh dan pada 4 Desember 1976, bertempat di Gunung Halimun, sebuah daerah pedalamam di Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
1 Tanggapan untuk "54 Tahun Ultimatum Hasan Tiro"
From the ultimatum I learn that Hasan Tiro has an ambition to be a leader od a country. But he can not get any support from the world. He can not influence the community of the world about his idea
Post a Comment