Ridwan Azwad hafal betul beragam fragmentaria sejarah Aceh. Meninggalkan bangku kuliah karena tertarik menjelajah masa lalu melalui berbagai dokumen lama. Berbagai buku sejarah telah disuntingnya.
Dijumpai di kediamannya, Sabtu (19/7) pria kelahiran Kuta Raja (kini Banda Aceh) 29 Oktober 1947 ini mengaku kecewa. Nasionalisme Aceh dinilainya telah retak. “Kita memperingati 100 tahun kebangkitan nasional dengan mengumandangkan nasionalisme, tapi di sisi lain nasionalisme Aceh retak,” katanya datar.
Nasionalisme yang dimaksudnya retak adalah munculnya gerakan-gerakan pemecahan Aceh, yang beberapa waktu lalu getol berunjuk rasa ke Jakarta. “Mereka sepertinya lupa pada sejarah,” lanjutnya.
Pria berusia 61 tahun ini pun berkisah sambil memperlihatkan sebuah dokumen laporan Belanda, 4 Agustus 1873. Dokumen itu menerangkan tentang keberangkatan 2.000 orang Gayo ke Aceh untuk membantu berperang dengan Belanda. “Ini lihat telegraf pihak Belanda yang menjelaskan 2000 orang gayo itu dipimpin Raja Tatimbang, mungkin yang dimaksud Belanda adalah Raja Patiambang,” ungkapnya.
Ia kemudian memperlihatkan dokumen serupa yang berisi laporan mata-mata Belanda di Singkil, yang disebut sebagai intelijen Melayu. Pada 25 Juli 1873 Sie Angkat dan Bagindo Nau Hitam di Singkil melaporkan keberangkatan ratusan orang Gayo dari Singkil ke Aceh untuk melawan Belanda. “Dulu nasionalisme Aceh begitu besar,” lanjutnya.
Ridwan Azwad memang lelaki yang fasih menghafal setiap babakan sejarah Aceh. Ketertarikannya terhadap sejarah bermula dari diskusi dengan kakeknya Muhammad Husein, salah seorang penulis sejarah Aceh dan Aboe Bakar, bapaknya yang menerjemahkan berbagai buku sejarah Aceh dari bahasa Belanda.
Usia sepuluh tahun ia sudah membaca buku tentang peristiwa kekerasan dalam konflik DI/TII. “Buku itu ditulis oleh A H Glanggang,” kenangnya. Karena itu pula, tamat sekolah menengah atas Ridwan Azwad ingin kuliah di jurusan sejarah, tapi dilarang oleh Muhammad Husein, kakeknya yang juga salah seorang sejarawan. Ia malah dianjurkan untuk kuliah di fakultas hukum.
Masuklah Ridwan Azwad ke Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. “Kakek saya bilang, mempelajari sejarah tanpa memahami hukum akan mudah ditipu orang, maka saya pun nurut,” ungkapnya.
Sambil kuliah, pada awal November 1968, Ridwan Azwad bekerja di kantor Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Setahun kemudian kakeknya meninggal. Setelah itu, Ridwan Azwad meninggalkan bangku kuliah. Apalagi pada September 1970 ia dipindahkan ke Kantor perwakilan Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Medan. Ia bertugas di sana sampai Agustus 1970.
Di Medan ia pernah ingin melanjutkan kuliahnya di fakultas hukum. Namun sebuah kenangan yang tidak mengenakkan tentang proses hukum yang dinilainya cacat, membuyarkan keinginannya itu.
Agustus 1974 sampai awal Janurai ia bertugas di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah istimewa Aceh. Selanjutnya pindah ke Dinas Pendapatan Nanggroe Aceh Darussalam, dari Januari 1976 sampai akhir Oktober 2003.
Lepas dari kedinasan, membuat Ridwan Azwad punya waktu yang lebih untuk menelusuri naskah sejarah. Apa yang didapatnya itu kemudian ditulis dan dikirim ke media. Seperti pada tahun 1996 lalu, ia berhasil menguak sejarah selembar surat Sultan Prancis, Louis Philippe (1830-1848) untuk Raja Aceh, Sultan Ibrahim Mansur Syah (1836-1870).
Surat itu ditemukan oleh tentara Belanda ketika merebut Dalam (istana) Sultan Aceh. Surat itu kemudian didapati oleh petugas Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) berada di Koninkklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde di Leiden. Surat diplomatik itu bertulis tangan yang amat indah, pada selembar kertas besar yang pada pinggirnya berwarna biru berhias air emas.
Karena pengetahuannya tentang sejarah, Ridwan Azwad sejak tahun 1999 diminta untuk bertugas di PDIA, Banda Aceh. Di sana ia menjabat sebagai Sekretaris sampai sekarang.
Di sela-sela kesibukannya, ia menjadi editor dan penyunting berbagai buku sejarah, diantaranya: Anggota Tim Editor The Engglish-Acehnese Dictionary karangan A.B.Lilawangsa (1995-1996), Tim penyunting buku A.J. Peikaar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang, terjemahan.Aboe Bakar, Cetakan kedua 1998.
Ridwan Azwad juga salah seorang penyusun dan penyuntin Kamuih-Indonesia-Inggreh & Engglish-Indonesian-Acehnese Dictiionary (1999-2000). Anggota tim penyunting buku K.F.H. van Langen, Susunan Pemerintah Aceh Semasa Kesultanan, terjemahan. Aboe Bakar cetakan keempat (2002).
Ia juga menjadi tim penyunting buku Rusdi Sufi, Hukum Adat Pertanahan : Pola Penguasaan Pemilikan dan Pengguanaan Tanah Secara Adat Aceh Tempo Doeloe dan Masa Kini, Cet. Kedua (revisi) 2002. serta penyunting buku Lembaga-lembaga Tradisional di Aceh dan buku Mereka yang Meninggalkan Pihak Aceh. Tahun 2007 lalu ia juga salah seorang penulis buku Ensiklopedi Aceh, terbit Maret 2008.
Sejarah bagi Rizwan Azwad punya dua sisi yakni peristiwa dan kisah. Menurutnya, satu hal yang sulit bagi sejarawan Aceh menyusun kembali sejarah adalah, dokumen-dokumen sejarah Aceh berada di luar negeri. “Banyak laporan ditulis oleh Belanda, sayangnya generasi Aceh sekarang yang menguasai bahasa Belanda sangat kurang, sehingga kesannya sejarah Aceh itu seperti ada tapi tiada,” katanya berfilsafat.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Lelaki di Puing Sejarah"
Post a Comment