Berlakon untuk menolak. Itulah yang dipentaskan komunitas Tikar Pandan, Jum’at (18/4). Aksi teatrikal dilakoni penggiat seni tersebut ke Kantor Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, Lueng Bata.
Mereka menolak kebijakan badan tersebut soal pembangunan meseum tsunami di dekat Taman Sari, Banda Aceh. Anggaran pembangunannya tak tanggung-tanggung, Rp70 milyar.
Dengan jumlah sebesar itu, coba hitung berapa ribu rumah korban tsunami akan siap direhab, biaya yang diamanahkan cetak biru hanya Rp15 juta per kepala keluarga. Rumah semraut pun bisa dipoles untuk memakmurkan kemiskinan. Tapi pelakon di BRR ternyata lebih berminat dan tertarik pada proyek pembagnunan meseum. Dengan proyek itu, mereka akan bisa menguasai alur mengalirnya dana tersebut. Hak rakyat miskin hanya nomor urut kesekian.
Dalam aksi yang ditampilkan, para penggiat seni itu melumurkan tubuh mereka dengan lumpur bak mayat tsunami. Sebagian lagi mengenakan kain putih perlambang kain kafan, para aktor teater ini berguling-guling dan berteriak histeris seakan-akan malaikat maut mencabut nyawa mereka. Tak kalah nyentrik, mereka juga membakar kertas-kertas di atas sebuah cawan kecil yang bermaksud sebagai dupa pengusir setan. “Jangan ambil uang kami, jangan tarik hak kami, jangan cabut nyawa kami,” pekik sang pelakon.
Menontot pertunjukan itu, ibarat mengingat kembali cerita Ando dalam kisah suara legenda Korean. Seperti teriakan seniman Tikar Pandan di Gerbang BRR, Ando juga berteriak di gerbang kekuasaan. Lelaki miskin yang selalu ketiban sial itu menghujat penguasa yang diktator. “Sialan penguasa negeri ini dan terkutuklah mereka,” teriaknya di gerbang. Ia pun ditangkap dan dihukum.
Ando dipenjara seumur hidup. Setiap ada orang yang menjenguknya, ia ungkapkan suara-suara kritisnya. Suara yang membuat penguasa bergetar dan kediktatoran kekuasaan gemetar.
Tentu kita tak ingin dari teatrikan yang dilakoni seniman komunitas Tikar Panda menjelma menjadi Ando-Ando lain disini. Kita sudah terlalu lelah dalam upat cela dan konflik berkepanjangan. Itu tentu akan terwujud jika kekuasaan mau untuk menarik kapas yang tersumpal di indra dengarnya. Karena untuk berteriak, rakyat sudah parau. Mari kita mengajarkan mereka untuk tidak menolak kemiskinan sebagai sebuah nasib. Minimal melalui pemberdayaan. Dan BRR adalah lumbung dana untuk itu.
Kepada pemegang kuasa di tanah bernama Aceh ini kita juga berharap, untuk tidak terlalut manut pada kekuasaan. Jangan sampai apa yang dikatakan Winston Churchill pada tahun 1941 di Amerika Serikat berlaku disini. Ia menyentil, “In my country, as in yours, public men are proud to be servants of the state and would be ashamed to be its masters.” Di negeri saya, sebagaimana di negeri Anda, tokoh masyarakat merasa bangga kalau bisa menjadi pesuruh negara dan merasa malu untuk menjadi tuan di negerinya sendiri. Jangan sampai itu terjadi.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Tolak"
Post a Comment