Yang kutakutkan akhirnya terjadi. Dua lambaian tangan meningalkanku. Aku pun harus mengeja kembali senyum dan tawanya. Ia yang menolak racun bagi idealisme yang diyakininya. Ia tidak mau berkhianat pada diri sendiri.
Sementara yang satu lagi mengatakan, pengkhianatan dibutuhkan untuk perubahan. Aku pun memamah maksud keduanya. Aku berkesimpulan, aku bebas untuk menjadi yang kunginkan, karena aku adalah tuan bagi diriku sendiri.
Aku paling bahagia, mendengar suaraku dan melihat wajahku sendiri pada kaca di telapak tangan yang dilambaikan itu. Meski bercermin padanya, aku tetap apa adanya aku. Kata filsuf Frusia, Friedrick Wihelm Nietzsche, how one becomes what one is.
Menimbang keduanya, indraku seperti mencicip madu dan racun. Ini tak ubahnya yang disentil Kautilya dalam kisah India klasik ”The Arthashastra” . mustahil untuk tidak mencicipi madu dan racun yang sudah di ujung lidah.
Racun dan madu itu hadir dari aneka keinginan, aku, kawanku, dan juga atasanku. Keinginan yang tak terhingga akhirnya berbenturan, maka lahirlah angan-angan, khayalan-khayalan berkedok kekuasaan. Nafsu pun memuncak.
Aku coba untuk mengekang itu. Salah satunya melalui tebar moralitas. Tapi itu tak ampuh lagi. Malah aku dianggap gila ketika terus tersenyum. Sikap kapitalis dan borjuis yang dilakoni kawan dan atasanku, membuat aku harus kembali berkaca, pada cermin keduanya. Meski ada yang retak. Aku pun menghadau wajahku yang kacau balau.
Dengan wajah seperti itu, aku diharap untuk berdiri dibarisan depan membawa perubahan. Meski harus terinjak dalam senyuman dan kepura-puraan. Aku mencoba untuk percaya diri demi sebuah kehidupan. Terngianglah di telingaku apa yang pernah diucap Wiston Churchill di parlemen Inggris.
Katanya, kalau kita sudah kehilangan percaya diri, berarti nasib kita memang sudah ditentukan demikian. Tentu aku tidak mau begitu. Madu dan racun tetap saya kutimang-timang di ujung lidah.
Antara menelan atau tidak, aku jadi ragu bersikap. Aku pun kesakitan. Tapi aku harus mengobati sakitnya kawan dan atasanku itu. Aku berpikir, lilin itu menerangi dengan membakar diri. Maka aku pun kasihan. Untuk mengobatinya, aku pun mengutip mantra, these pitiless remedies invanted in the name of pity. Obat tak berbelas kasihan yang ditentukan atas nama belas kasihan.
Inilah sebuah pengingkaran yang kukemas dengan indah dalam pengabdian. Bukan untuk kawanku, bukan untuk atasanku, tapi untuk diriku sendiri dan tanggungjawab yang penuh beban. Kalau dengan mantra itu juga tak ada yang pulih, aku tak tahu entah masih bisakah aku berbelaskasihan.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Racun"
Post a Comment