Penguasa yang berani adalah yang mampu menunjuk mukanya sendiri. Bukan hilang muka di depan rakyatnya, karena aspirasi rakyat yang dibawanya tak didengar penguasa.
Dalam kasus demo dana rehab rekon oleh masyarakat pantai barat-selatan Aceh, kita berharap Gubernur Irwandi Yusuf dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mampu menunjuk mukanya sendiri di depan rakyatnya, tinimbang ikut manut pada Kepala BRR yang menutup telinga terhadap aspirasi tersebut.
Sebanyak 34 anggota DPRA telah memulai hal itu, mendesak agar gubernur dan ketua DPRA mundur dari jabatannya di BRR. Alasannya, Kuntoro tidak menggubris rekomendasi kedua pejabat tinggi Aceh itu untuk memberikan biaya rehab rumah kepada korban tsunami Rp15 juta per kepala keluarga, sebagaimana diatur dalam blueprint rehab rekon.
Dengan alasan kurangnya anggaran Kuntoro secara sepihak menurunkannya menjadi Rp2,5 juta. Ratusan korban tsunami pun berang. Spanduk dan poster pun dibentangkan. Mereka ber yel-yel menuntut haknya yang dipangkas.
Sekali lagi, kita berharap, gubernur dan ketua DPRA komit pada rekomendasi yang dikeluarkannya. Untuk itu desakan mundur yang didorong oleh 34 anggota DPRA sangatlah wajar. Alasannya, menelan kata-kata yang telah dikeluarkan dalam rekomendasi itu, akan menghasilkan karakter yang buruk.
Ya, lebih baik meninggalkan BRR tinimbang kehilangan muka dimata rakyat. Lebih baik di luar sistim, tinimbang larut dalam kemelut. Ketika dekat dengan kekuasaan di BRR, maka saat itu pula gubernur dan ketua DPRA terjerat untuk tidak bebas. Seorang wartawan Belanda berkata hij is niet meer vrij, dia sudah tidak bebas lagi.
Kalau keduanya mundur dari BRR tentu akan melahirkan pro kontra dari kawan dan lawan. Tapi bila itu atas nama rakyat, tak ada salahnya, karena manusia yang berpengetahuan harus mampu bukan saja untuk mencintai musuh-musuhnya, tapi juga membenci teman-temannya.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Mundur"
Post a Comment