Kata adalah serdadu, gerilya bertopeng tak henti menyerbu. Darinya gagasan muncul, inti pemikiran lahir. Maka aku merangkai kata jadi pasukan tangguh. Tapi aku tak mau menembak, hanya sekedar menyenggol.
Senggolan ini bukan pula untuk menjatuhkan, hanya sekedar upaya penertiban. Karena bukan hanya serdadu, polisi pamong praja pun punya hak melakukan penertiban. Kali ini akulah polisi pamong paraja itu, yang bengal ingin menertibkan birokrasi yang amburadul.
Ya aku bengal. Ingin menertibkan laku si wali yang memberiku surat keputusan penertiban. Tapi sebagai penertib aku harus maju. Apa yang kulihat di permukaan tampak tertib, teratur, jelas, rapi bin pasti, itu semua hanya kamuflase yang penuh dengan ketidakpastian. Sori, aku mengutip kata Charles Stamford dalam The Disorder of Law, A Critique of legal Theory (1989).
Kamuflase itu lahir dari aneka keinginan yang tak terhingga. Disinilah aku melihat, wali belum bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Jadinya, ketaktertibanpun terus berputar disitu-situ terus. Ini bagai lingkaran setan, meski setannya tidak kelihatan.
Menimbang hal ini, saya teringat Bertrand Russel. Filosof asal Inggris itu mengatakan, manusia memang punya aneka keinginan tak terhingga. Manusia berangan-angan. Dengan itu ia hidup. Inilah yang disebut cita-cita jika ada upaya menggapainya. Jika tidak, angan-angan tetaplah angan-angan.
Nah, agar angan-angan jadi cita-cita, maka kamuflase harus ditertibkan. Kerja harus dikembalikan pada koridornya, jangan lagi berputar di lingkaran setan. Ada kemenangan-kemenangan yang dikhayalkan bersama, dalam cita-cita bersama pula.
Khayalan itu kemungkinan. Di dalamnya ada kenyataan bila ingin diraih. Bukan duduk manis di kursi sambil tebar pesona. Berbagai daya harus dikerahkan. Beragam upaya harus dilakukan, sambil mempertahankan apa yang sudah ada.
Disinilah wali harus jeli melihat ke bawah, bukan terus menengadah langit mengharap bintang jatuh. Di bawah masih ada penertib yang ingin koridor diluruskan.
Kalau wali takut hilang wibawa ketika melangkah dalam kekumuhan. Ya…tanggalkan kemeja dan dasi di singgasana. Melangkahlah bersama dalam pakaian kerakyatan.
Sebagai jelata kami mengizinkan wali berkamuflase untuk kebaikan dan perubahan. Tapi ingat bukan kamuflase seperti yang sebelumnya saya sebutkan. Kan wali masih ingat apa yang dikatakan Nicholas Machievelli. Kalau sudah lupa, baiklah saya ingatkan. Katanya, seorang wali boleh berbohong.
Pemikir Italia itu punya alasan. Ia bilang, seorang wali yang baik, bukanlah wali yang jujur dan penuh belas kasihan. Melainkan wali yang kejam dan selalu belajar untuk menjadi manusia tidak baik. Jangan salah tafsir, disinilah ketegasan dibutuhkan demi penertiban. Kalau itu sudah berlaku, maka serdadu tak lagi dibutuhkan.***
Artikel keren lainnya:
1 Tanggapan untuk "Kamuflase"
nyoe ka mantap blog kah is...kahayue di bandeng ata si Andi
Post a Comment