Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai tempat peribadatan, tapi juga pusat pendidikan. Berbagai kajian ilmu dilakukan di 17 fakultas (daar). Hal yang kemudian membuat Aceh menjadi kiblat pendidikan di Asia Tenggara.
Kejayaan Baiturrahman sebagai pusat pendidikan terjadi pada awal abad XIV hingga abad XVII. Selain Baiturrahman, ada lembaga pendidikan tinggi di pusat Kerajaan Aceh yakni Baiturrahim dan Baitulmusyahadah.
M Junus Djamil dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh (1968) menjelaskan, mesjid jami’ Baiturrahman dibangun oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah I pada tahun 691 hijriah (1229 M). Bangunan mesjid kemudian diperluas oleh raja-raja selanjutnya.
Dalam perkembangannya, mesjid ini menjadi pusat pendidikan dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Para pengajar selain dari ulama-ulama Aceh, juga didatangkan dari Turki, Arab, Persia, dan India.
Begitu juga dengan pendidikan di Mesjid Baiturrahim. Mesjid ini dibangun pada tahun 1016 hijriah (1607 M) oleh Sulthan Iskandar Muda dalam komplek istana kerajaan yang disebut Dalam Darud Dunia.
Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaa) Aceh, Said Abdullah Di Meulek dalam Qanun Meukuta Alam halaman 71 menjelaskan, Mesjid Baiturrahim dijadikan sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan di lingkungan istana. Keberadaanya ditopang oleh balai setia hukama, balai setia ulama, dan balai jamaah himpunan ulama. Di tiga lembaga ini para ulama membahas dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan.
Sementara Mesjid Baitul Musyahadah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad (1961) dibangun oleh Sulthan Iskandar Tsani dalam komplek Kraton Kuta Alam pada tahun 1046 hijriah (1637 M). Mesjid ini dibangun sebagai pusat pendidikan ketiga di Kerajaan Aceh.
Namun, dari ketiga mesjid pusat pendidikan tersebut, Mesjid Baiturrahman yang paling banyak membuka fakultas (daar) yakni 17 Fakultas (lihat boks) dan dibuka untuk para penuntut ilmu dari manca negara.
Untuk bisa mengikuti pendidikan di Baiturrahman, terlebih dahulu harus menempuh jenjang pendidikan di bawahnya. Jenjang itu dimulai dari madrasah (meunasah) di gampong-gampong sebagai lembaga pendidikan paling rendah. Pada jenjang pendidikan ini hanya diajarkan membaca dan menulis dengan aksara Arab, ahklak, ilmu agama, dan bahasa jawi (Melayu).
Tamat di madrasah dilanjutkan ke rangkang, asrama pendidikan di mesjid kemukiman. Imum Mukim bertugas mengelola lembaga pendidikan ini. Said Abdullah di Meulek menjelaskan, dalam Qanun Meukuta Alam mewajibkan tiap-tiap mukim membangun satu mesjid. Sama halnya seperti tiap-tiap gampong harus ada satu meunasah.
Rangkang merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah pertama. Pelajar umumnya mondok di lingkungan mesjid selama mengikuti pendidikan. Hal inilah yang membuat Imum Mukim diharuskan membangun rangkang sebagai asrama bagi pelajar. Pendidikan pada tingkat ini mulai diajarkan bahasa Arab. Sebagian kitab-kitab ajaran juga berbahasa Arab, juga mulai diajarkan ilmu umum, sejarah, ilmu bumi, dan ahklak.
Tingkat pendidikan lanjutan dari rangkang disebut dawiyah atau dayah. Sulthan Aceh mewajibkan di setiap daerah federasi uleebalang membangun satu dayah sebagai lembaga pendidikan. Ada dayah yang berpusat di mesjid-mesjid, ada juga yang berdiri sendiri di luar kepengurusan mesjid.
Kabanyakan dayah berdiri sendiri. Pimpinan dayah biasanya membangun sebuah ruang utama sebagai aula tempat kuliah umum disampaikan, sekaligus sebagai tempat santri shalat berjamaah. Pada tingkat dayah, semua materi pelajaran disampaikan dalam bahasa Arab. Ilmu yang diajarkan antara lain: fiqh (ilmu hukum), tauhid, tasawuf, ahklak, sejarah, ilmu bumi, ilmu tata negara, faraidl (ilmu pasti).
Setelah tamat di dayah, santri sudah bisa melanjutkan pendidikan ke dayah teungku chik. Disebut dayah teungku syik karena dipimpin oleh ulama. Pendidikan pada tingkat ini setara dengan perguruan tinggi sekarang. Pada tingkat ini, materi pendidikan sudah meliputi: fiqh (hukum), tafsir, hadis, tauhid, filsafat, tasauf, mantik, dan ilmu falak (astronomi). Lulusan pendidikan pada tingkat ini berhak menyandang lakab (sebutan) ulama muda.
Kemudian untuk tingkat master dan doktoral yang melahirkan sarjana bergelar Teungku Chik (ulama) ada di Jamiah Baiturrahman. Para pengajar di jenjang pendidikan tinggi ini sebagian besar merupakan ulama-ulama Aceh yang telah menempuh pendidikan di Timur Tengah yang telah berhak menyandang gelar syekh.
Mesjid Raya Baiturrahman bukan hanya sebagai jamiah (universitas), tapi juga benteng pertahahan. Ketika agresi Belanda, Maret 1973, perang sengit terjadi di mesjid ini. Di sini pula pimpinan agresi pertama Belanda Mayor JHR Kohler tewas ditembak pejuang Aceh.
Namun, pada invansi Belanda kedua, Mesjid Raya Baiturrahman berhasil direbut dan dibakar oleh Belanda. Pembakaran itu dilakukan oleh pasukan pimpinan Van Swieten pada 6 Januari 1874. Saat itu pasukan Aceh di bawah pimpinan Tuanku Hasyim Banta Muda dan Teungku Imum Lueng Bata tidak dapat mempertahankan mesjid raya.
T Ibrahim Alfian dalam Mengenal Masyarakat Aceh yang Sedang Membangun (1976) mengungkapkan, perang di Mesjid Raya Baiturrahman menewaskan 14 tentara dan 11opsir Belanda, serta 197 infantri luka-luka.
Untuk merebut hati masyarakat Aceh, Belanda kemudian membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Rancangan mesjid dibuat oleh arsitek Bruins dari Departement van Burgelijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) di Batavia.
Bruins bekerja sama dengan Opdizchter LP Luyks dan beberapa insinyur lainnya. Mereka dibantu oleh seorang Penghulu Besar Garut agar pola mesjid yang akan dibangun tidak bertentangan dengan aturan-aturan Islam. Semua tahap pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman diabadikan oleh J Staal dalam buku De Missigit Raija in Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh De Indiche Gids pada tahun 1882.
Tentang pembangunan kembali Mesjid Raya Baiturrahman juga ditulis J Kremeer dalam “De Groote Moskee te Koeta Radja” yang dimuat dalam Nederlandsch Indie Ouden Nieuw, tahun 1920.
Belanda berusaha membangun mesjid raya untuk member kesan baik bagi orang Aceh, dan itu tidak mudah. Pembangunan mesjid raya terkendala minimnya tenaga kerja. Orang Aceh tidak mau bekerja pada proyek Belanda tersebut, mereka lebih memilih jalan perang. Akhirnya Belanda memakai tenaga kerja dari Cina.
Tapi masalah lain kemudian muncul, para kontraktor (pemborong) di Jawa tidak bersedia ikut proyek itu karena perang di Aceh masih berkecamuk. Hanya satu kontraktor yang memasukkan penawaran, yakni Lie A Sie, seorang Letnan Cina di Aceh. Ia memperoleh borongan untuk membangun Mesjid Raya Baiturrahman dengan anggaran f.203.000. Dengan uang sebesar itu, ia mengimpor bahan-bahan bangunan dari luar negeri
Kapur didatangkan dari Pulau Pinang, Batu bata dari Belanda, batu pualam untuk tangga dan lantai dari Tiongkok (Cina), besi untuk jendela dari Belgia, kayu dari Moulmein (Birma). Hanya kerangka besi yang berasal dari Surabaya.
Peletakan batu pertama pembangunan Mesjid Raya Baiturrahman dilakukan di hadapan Jenderan Van Der Heyden. Sementara serah terima mesjid dilakukan pada 27 Desember 1881 dengan perhelatan sebuah kenduri besar. Kunci mesjid diserahkan kepada T Kali Malikul Adil oleh Gubernur A Pruys van Der Hoeven yang diiringi dengan 13 kali tembakan meriam. Sementara pengurusan mesjid diserahkan kepada Teungku Syeh Marhaban ulama besar dari Pidie.
[Iskandar Norman]
Fakultas (Daar) di Mesjid Jami’ Baiturrahman
Dalam majalah Sinar Darussalam nomor 17 edisi September 1969 halaman 9 dirincikan, ada 17 fakultas yang pernah dikembangkan di Mesjid Jami’ Baiturrahman, yakni:
· Darut Tafsir wal Hadis (Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis)
· Darut Thib (Fakultas Kedokteran)
· Darut Tarikh (Fakultas Sejarah)
· Darul Hisab (Fakultas Ilmu Pasti)
· Darus Siyasah (Fakultas Ilmu Politik)
· Darul Aqli (Fakultas Ilmu Akan/Ilmu Alam)
· Daruz Zira’ah (Fakultas Pertanian)
· Darul Ahkam (Fakultas Hukum)
· Darul Falsafah (Fakultas Filsafat)
· Darul Kalam (Fakultas Ilmu Kalam/Tauhid)
· Darul Wizarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan)
· Darul Kimia (Fakultas Ilmu Kimia)
· Darul Khasanah Baitul Mal (Fakultas Ilmu Perbendaharaan/Keuangan Kerajaan)
· Darul Ardli (Fakultas Ilmu Pertambangan)
· Darul Nahwu (Fakultas Ilmu Nahu)
· Darul Mazahib (Fakultas Ilmu Perbandingan Agama)
· Darul Harb (Fakultas Ilmu Peperangan)
Belum ada tanggapan untuk "Ragam Daar di Baiturrahman"
Post a Comment