Cerita mistik lainnya adalah kemampuan orang Aceh manaklukkan harimau menyisakan rasa penasaran bagi penulis Belanda, H C Zentgraaff. Rasa penasaran itu semakin memuncak saja, ketika Putra Cut Mutia yang masih kanak-kanak, Teungku Raja Sabi, hidup dalam belantara bersama harimau, menghindar dari kejaran marsose.
Bagi masyarakat Aceh, harimau merupakan lambang kekuatan dan kelihaian. Pejuang-pejungan Aceh yang militan semasa perang melawan pemerintah kolonial Belanda, sebelum mempersiapkan diri untuk berperang, maka bila ada kesempatan akan memakan sepotong hati harimau.
Hal itu diyakini akan melahirkan sifat-sifat buas dan beringas dari harimau ke pejuang tersebut, yang dalam bahasa Aceh disebut dengen ceubeuh, yakni garang dan berani. Dalam perang dengan Belanda, harimau pulalah yang kerap menyelamatkan pejuang Aceh dari kejaran Belanda, dengan memberikan isyarat. Maka diantara gerombolan pejuang Aceh yang bergerilya di belantara, akan selalu ada satu dua orang pawang harimau (pawang rimueng-red).
Tentang hal ini diakui oleh penulis Belanda, H C Zentgraaff, yang juga mantan serdadu dalam perang Aceh. Menurutnya, sikap harimau yang selalu menghindar bila berjumpa dengan gerombolan manusia dalam belantara, dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai kewaspadaan yang lihai dalam mengelak resiko.
Bagi masyarakat Aceh, keberadaan harimau punya arti khas tersediri. Malah kuburan-kuburan tokoh-tokoh yang diyakini keramat, dijaga oleh binatang buas tersebut atas kodrta dan kekuatan ghaib. “Di dekat kuburan Teungku Cot Bada di Geulumpang Payong, Pidie, dia (harimau-red) dapat dilihat sekali-kali oleh orang-orang yang percaya, pada saat menjelang senja atau setelah magrib,” tulis Zentgraaf dalam buku “Atjeh”.
Mneurut Zentgraaff, harimau hitam dan harimau putih bergantian menjaga kuburan tersebut, yang letaknya tidak jauh dari pertemuan Krueng Geumpang dan Krueng Tangse. Malah menurut Zentgraaff, orang tua khadam (penjaga) kuburan itu tidak pernah sekali pun diganggu oleh harimau-harimau itu.
Cerita tentang harimau lainnya, adalah kisah Teungku Raja Sabi, putra Cut Mutia yang sejak kecil sudah bergerilya di hutan karena diburu oleh Belanda, setelah Cut Mutia dan Pang Nanggroe yang mengasuhnya meninggal dalam sebuah pertemburan. Raja Sabi yang masih bocah menjadi simbol perjuangan rakyat Aceh di Keuretoe, Aceh Utara. Dalam masa kanak-kanak itu, Raja Sabi terus berpindah dari satu rimba ke rimba yang lain, bersama harimau dan Raja Tampeu, seorang yang sudah sangat akrab dengan binatang-binatang hutan.
Dalam bukunya, Zentgraaff juga mengisahkan tentang keganjilan-keganjilan yang dilakukan oleh Pawang Rimueng (Pawang harimau-red) di Aceh, yang sangat mengerti tentang kebiasaan, tingkah laku dan seluk beluk binatang buas tersebut. “Kalau saya ceritakan beberapa dari cerita-cerita orang-orang yang dapat dipercaya mengenai pekerjaan-pekerjaan pawang-pawang harimau, maka beberapa dari kita menggelengkan kepalanya. Kita bertanya sejenak, apakah yang diketahui oleh seorang penjinak binatang di dalam sebuah sirkus Barat, mengenai sifat-sifat, watak dan kebiasaan-kebiasaan dari hewan-hewan yang dipeliharanya sehingga merasa dapat sebanding dengan manusia-manusia seperti pawang-pawang Aceh ini, yang seluruh hidupnya, dimulai dengan ilmu yang dimusyawarahkan dan diturunkan secara rahasia oleh orang tua-tua, untuk mepelajari segala apa yang hidup dan mengembara dalam hutan rimba. Mereka jauh lebih mengenal kebiasaan-kebiasaan dan sifat dari harimau serta badak, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam semua buku barat.” Tulis Zentgraaff.
Keberadaan pawang rimueng sangat dihargai dalam masyarakat. Bahkan bagi pawang harimau yang berhasil menghela harimua yang mengganggu ternak dan tanaman masyarakat, akan selalu mendapat sumbangan dari hasil ternak atau pertanian warga tersebut sebagai upah.
Di beberapa kampung di Aceh, dulu malah mempunyai aturan tersendiri tentang keberadaan pawang rimueng. Dari hasil menjaga dan menjinakkan binatang buas itu pula pawang rimueng dapat hidup layak. Diantara sekian banyak pawang rimueng di Aceh, dulu yang paling tersohor adalah pawang rimueng di Daya (Aceh Barad Daya-red). Sebuah daerah yang dikenal memiliki banyak harimau yang lebih buas dibandingkan daerah-daerah lain. “Mereka terkenal karena sangat culas dan buas, dan sekiranya orang hendak menunjukkan dengan jelas betapa takutnya mereka terhadap harimau Daya,” jelas Zentgraaff.
Zentgraaff mengaku penasaran tentang kemampuan para pawng harimau dalam menghadapi bintang buas tersebut. Kemampuan itu merupakan warisan turun temurun kepada anak cucu para pawang rimueng. “Betapapun riilnya pengetahuannya tentang harimau, namun hal itu diselubunginya dengan formula-formula mistik serta agama, karena harimau pun adalah ciptaan Tuhan pula, dan berhak untuk diperlakukan dengan semestinya, sesuai dengan cara-cara yang baik, sebgaimana yang diberikan oleh kekuatan yang satu kepda yang lainnya,” lanjut Zentgraaff.
Menurut Schimid dan Veltman, perwira Belanda yang bertugas di Aceh dalam perang kolonial. Anak lelaki dari pawang secara berangsur-angsur dilekatkan segala keilmuan ini, dan semua ini sebagian besar diselenggarakan dalam hutan menyendiri, sebagaimana halnya dengan bertapa bagi orang Jawa. Mereka yang berhasrat untuk masuk ke dalam dunia kerohanian, hendaklah dengan mulai melepaskan dirinya dari kebendaan.
Untuk memancing hariamu liar agar menuju ke arah tertentu di dalam hutan, untuk memaksanya membuang naluri buasnya dan menuntun jasadnya yang perkasa itu melalui jalan yang dikehendaki sampai ke dalam perangkap, memerlukan hal-hal lain selain dari pada menggunakan jampi-jampi suci saja, walaupun ini dilakukan dengan hati yang betul-betul bersih.
Semenjak dari masa kanak-kanaknya, sang pawang mempelajari segala kebiasaan harimau, bukan hanya perlu mengetahui bagaiman cara-caranya ia bergerak di dalam hutan, namun juga; mengapa ia berlaku demikian dan bukan lainnya. “Begitulah si anak muda dengan bimbingan pawang tua, belajar memahami harimau di tempat terpencil dari dalam hutan, hanyalah dia yang seorang diri berada di dekat bunda alam, yang dapat belajar memahami jalan ilmu kebatinan,” tulis Zentgraaff.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pawang Rimeung di Mata HC Zentgraff"
Post a Comment