Berapa sebenarnya nilai sebuah pengetahuan? Bila ketaktahuan dianggap sebagai kebodohan, maka kepintaran dari pengetahuan layak dihargai berapa?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah ada sejak zaman dahulu, dan bisa dipastikan tak ada orang yang mampu mengukur nilai pengetahuan. Karena pengetahuan itu memiliki nilai, semua kita ingin memilikinya. Pertanyaan lanjutan, bagaimana dengan orang yang tak memiliki nilai untuk menggapai nilai pengetahuan itu? Terhadap pertanyaan ini negara wajib menjawabnya.
Kemudahan di bidang pendidikan merupakan salah satu jawaban yang harus diberikan oleh pemerintah. Pemerintah harus menyisihkan sebagian nilai dari mata anggaran untuk si miskin menggapai nilai pengetahuan itu. Kalau tidak, maka masyarakat miskin akan selamanya berada dalam kungkungan ketakpengetahuannya, yang artinya tak memiliki nilai untuk masa depannya, karena nilai pengetahuan menentukan nilai seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, ironi ketika pemerintah sudah menyediakan sekian banyak anggaran untuk pendidikan, malah tak digunakan sesuai peruntukannya. Kasus dana abadi pendidikan senilai Rp2,4 triliun di Aceh menjadi contoh terkini. Bagaimana anggaran sebesar itu tak jelas penggunaannya sampai sekarang. Masih adakah dalam rekening pemerintah atau memang sudah dialihkan ke lain hal.
Kabarnya, dana itu sudah mengendap di Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh sejak tahun 2005 lalu. Lima tahun sudah dana tersebut disimpan, namun anehnya qanun tentang tata cara pengelolaan dana abadi pendidikan itu sampai kini belum rampung. Publik wajib bertanya, apa juga kerja pemerintah selama ini, bila satu qanun saja sudah lima tahun tak selesai dibuat.
Kondisi ini jelas-jelas sangat memprihatinkan, seandainya qanun itu sudah selesai, maka dengan dana Rp2,4 triliun itu berapa ribu siswa bisa mendapat keringanan biaya pendidikan melalui beasiswa, berapa ratus sekolah bisa memperbaiki mobilernya yang rusak.
Dan, selagi qanun itu belum rampung, kita bisa membalik pertanyaan, berapa sudah dana Rp2,4 trilun itu bertambah melalui bunga depositonya di bank? Berapa nilai sesungguhnya dari uang itu sekarang? Siapa yang menikmati bunga itu. Pemerintah Aceh harus memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Lebih ironis lagi ketika Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengaku selama ini tidak mengetahui keberadaan Rp2,4 triliun dana abadi pendidikan tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah ada pertemuan dengan perwakilan organisasi guru pada 15 Juni 2010 lalu. Adalah kewajiban legislatif untuk mempertanyakan hal ini kepada eksekutif, agar publik memperoleh informasi yang benar.
Yang mencengangkan adalah ketika Wakil Gubernur Muhamamd Nazar memperkirakan bunga dari deposito dana abadi pendidikan itu mencapai Rp15 miliar perbulan. Bila dikalikan 60 bulan, selama lima tahun dana itu mengendap di bank, maka bunganya saja tak kurang dari Rp900 miliar.
Bila dana itu tak segera digunakan untuk membantu biaya pendidikan masyarakat kelas bawah, maka nilai pengetahuan mereka akan terus berada pada level bawah, karena biaya pendidikan di Aceh sekarang tergolong tinggi. Dengan dana itu, sumber daya manusia harus dibangun dari bawah, masyarakat miskin yang pengetaguannya rendah harus diberi kesempatan untuk mempertinggi nilai pengetahuannya melalui pendidikan.
Lembaga pendidikan dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi juga harus memberikan kemudahan bagi masyarakat miskian untuk memperoleh pendidikan. Komersialisasi pendidiakn boleh-boleh saja, tapi harus melihat untuk kalangan mana dan pada progam pendidikan apa itu bisa dilakukan.
Pendidikan kepada si miskin dan si kaya harus dipilah-pilah, tanpa membedakan kualitasnya, agar nilai pengetahuan antara si kaya dan si miskin bisa berimbang dan keduanya bisa bersaing di dunia kerja.
Menutup tulisan singkat ini, saya kutip sebuah contoh penentuan nilai pengetahuan yang dialakukan oleh Yusuf bin Jafar el-Amudi dalam The Dermis Probe Idries Shah, 1970. Yusuf sering menerima banyak uang dari orang-orang yang datang padanya untuk belajar, kadang jumlahnya sangat besar.
Seorang pengacara datang padanya menanyakan hal itu. Ia mengagumi Yusuf yang mengajarkan pengetahuan kepada murid-muridnya dengan baik, tapi mengkritiknya karena menerima uang sebagai ganti pengetahuan yang tidak sesuai dengan tradisi.
Namun sebagai seorang guru, Yusuf mengatakan tidak pernah menjual pengetahuannya. Tidak ada jumlah uang di dunia ini yang mampu membayar nilai pengetahuan yang diajarkannya. Malah menolak uang akan membuat murid-muridnya terbebani. “Seseorang yang tidak menerima apa-apa akan dianggap merampok jiwa muridnya dan merebut kehendak mereka,” demikian kaya Yusuf.
Sekarang, untuk tidak merampok kehendak dan tidak menguasai jiwa-jiwa si miskin dalam usahanya meraih nilai pengetahuan, Pemerintah Aceh harus sesegera mungkin menyelesaikan qanun pengelolaan dana abadi pendidikan dan memberi peluang kepada si miskin untuk menikmatinya, agar nilai pengetahuan masyarakat miskin bertambah. Dan setelah itu tentunya mereka bisa bersaing dalam dunia kerja kelak. Kalau tidak, maka akan selamanya mereka terpuruk dalam ketaktahuannya.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Nilai Pengetahuan"
Post a Comment