Diakui atau tidak, penegakan hukum di Aceh telah dipengaruhi oleh impunitas. Bagi satu pihak penegakan hukum disegerakan, di pihak lain diundurkan—kalau tak elok disebut didiamkan.
Dua kasus yang kini menjadi perhatian media di Aceh dewasa ini bisa menjadi contoh. Yang pertama kasus pencemaran nama baik Gubernur Irwandi Yusuf dengan terdakwa Hamidi Arsya yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jantho. Kemudian kasus pemukulan terhadap T Syahreza Darwin dengan tersangka Izil Azhar alias Ayah Merin, orang dekat Gubernur Irwandi Yusuf.
Untuk kasus Hamidi, sudah beberapa kali sidang digelar di pengadilan. Malah Gubernur Irwandi Yusuf sendiri hadir ke persidangan memberi keterangan sebagai saksi korban/pelapor. Sementara kasus Ayah Merin berkasnya masih bolak balik dari polisi ke jaksa. Jika dalam waktu dekat kasus ini tidak dilengkapi dan dilimpahkan ke pengadilan (P21), maka patut diduga ada praktek impunitas di dalamnya.
Hukum mengenal istilah actus non facis nisi mensir rea, tiada terpidana tanpa kesalahan. Para pelaku dalam dua kasus tadi, seharusnya sama-sama menuju ke situ, Hamidi sudah jadi terdakwa dan tak lama lagi akan menjadi terpidana. Sementara Ayah Merin masih belum tersentuh. Ia hanya baru sebatas tersangka, belum terdakwa apalagi terpidana. Dan disinilah punca impunitas bisa saja terjadi.
Impunitas bermakna kebebasan dari hukum atau hal yang terluput dari hukum. Impunitas sama halnya dengan untouchable yang bermakna tak tersentuh atau kebal hukum. Keduanya muncul karena adanya perlindungan di ketiak kekuasaan. Karena impunitas dan ontuchable maka pelanggaran terhadap hukum mendapat perlindungan dari kekuasaan. Hukum yang seharusnya menjadi panglima malah dikebiri oleh kekuasaan.
Bila praktik impunitas masih ada, maka istilah actus non facis reun nisi mensir rea, tak akan bermakna apa-apa. Setiap kesalahan melahirkan terpidana, pertanyaannya, sudah arifkan kita mempidanakannya. Jangan-jangan impunitas dan untouchabel telah mempengaruhinya.
Impunitas adalah sebuah fenomena dalam hukum, yang selalu menyertai kasus-kasus yang melibatkan kekuasaan (pemerintah) terhadap rakyatnya. Kalangan human rights mendefinisikan impunity sebagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh kekuasaan. Mereka menganggap crime without punishmen is the crims itself.
Penyebab impunitas bisa terjadi oleh beberapa hal. Salah satunya adalah hilangnya “kemerdekaan” hakim dalam menyidangkan suatu kasus karena tekanan kekuasaan. Semoga saja dalam kasus Ayah Merin, pemegang kekuasaan di Aceh tidak mempraktekkan hal ini. Semoga penanganan kasus Ayah Merin tidak diulur-ulur untuk melindungi kekuasaan sang Gubernur.
Penegakan keadilan yang diulur-ulur ini merupakan pengingkaran terhadap keadilan. Wiliam E Glandstone, Perdana Menteri Inggris (1868-1894) mengatakan hal ini sebagai, “justice delayed is justice denied”
Ketakbebasan lagi hakim dalam menyidangkan suatu kasus juga bisa memunculkan impunitas. Dalam kasus Hamidi dan Ayah Merin kita menginginkan penegakan hukum yang sebenarnya, tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik gubernur. Apalagi ini menjelang pemilihan kepala daerah. Dan Irwandi bermaksud maju kembali. Ia tentu tak ingin citranya tercoreng dalam dua kasus tersebut.
Hakim harus benar-benar menjaga hukum sebagai panglima, bukan runut pada kepentingan kekuasaan. Dalam banyak hal, kita melihat penegakan hukum di Indonesia masih bisa diatur oleh kekuasaan. Hukum yang sejatinya hukum telah menjadi ladang bisnis. Penegakan hukum bisa diatur melalui tipis tebalnya setoran. Hukum masih saja digagahi oleh kepentingan politik kekuasaan hingga melahirkan keputusan yang pincang.
Inilah yang oleh Goenawan Wanaradja, mantan hakim di Pengadilan Negeri Banda Aceh yang menyebutkan penegakan hukum telah mengikuti “hukum pasar”. Perselingkuhan antara kekuasaan dan penegak hukum telah membuat penegakan hukum itu sendiri menjadi “hukum pasar” yakni keadilan diatur berdasarkan permintaan dan penawaran. Berapa yang anda tawarkan dan apa yang anda janjikan akan mempengaruhi putusan hakim. Inilah yang disebut sebagai mafia peradilan (prokreor).
Mafia peradilan tetap saja punya celah bermain dalam penegakan hukum. Apalagi dalam aksus Hamidi dan Ayah Merin mempertaruhkan nama baik seorang gubernur. Akhirnya, penegakan hukum yang dipengaruhi oleh impunitas hanya akan melahirkan ontuchable man yang tak mampu dijerat oleh hukum yang sebenarnya. Dalam dua kasus ini kita butuh keberanian hakim untuk tidak menggadaikan hukum, dengan dan atau tanpa pengaruh kekuasaan sekalipun. Semoga.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Impunitas"
Post a Comment