Kita belum sepenuhnya mampu belajar dari bencana. Ragam kebijakan penanggulangan tanggap darurat pada bencana alam, semisal banjir bandang di Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie pada Kamis malam 10 Maret 2011. Miris ketika mengetahui bahwa warga Blang Pandak harus berjalan kaki sejauh 14 kilometer untuk memperoleh bantuan.
Lebih ironis lagi, ketika sampai ke posko bantuan di Mesjid Blang Dhoet, Kecamatan Tangse mereka tidak mendapatkan apa yang diharapkan. Malah harus membeli sendiri sembako untuk bertahan hidup. Ini menggambarkan bahwa Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) belum bekerja sebagaimana diharapkan. Relawan bersama bantuan yang dibawanya hanya menumpuk di pasar kecamatan.
Belum lagi tentang data korban yang simpang siur. Di kantor BPBA di kawasan Simpang Lima Banda Aceh, wartawan diundang untuk mendengar paparan tentang kondisi Tangse. Anehnya, ketika ternyata wartawan lebih tahu tentang konidisi yang sebenarnya. Ini membuktikan bahwa pejabat kita lebih suka berbicara di belakang meja, tinimbang menginjak lumpur di lokasi bencana.
Segala teori tentang penanggulangan bencana seolah tak bermakna apa-apa. Mereka yang ‘mengunyah’ mentah-mentah isi aturan penanggulangan bencana dan tanggap darurat, kalah lihai dalam aplikasi di lapangan. Masyarakat korban membutuhkan sikap reaktif dan gerak cepat dari BPBA untuk menyalurkan bantuan bagi mereka. Bukan hanya mencatat jumlah korban dan kerusakan harta benda dalam deretan angka-angka semata.
Kita seharusnya belajar dari berbagai petaka yang telah terjadi. Penanggulangan seharusya dilakukan jauh-jauh hari sebelum bencana terjadi dengan cara mencengah segala hal yang bisa menyebabkan bencana itu ada. Di sinilah diperlukan ketegasan pemerintah dengan berbagai kebijakannya. Seumpama Tangse, seharusnya jauh-jauh hari pemerintah bisa mengawasi dan menindak pelaku pembalakan liar di sana. Bukan sibuk setelah itu semua terjadi.
Pola penanggulangan bencana yang masih bersifat reaktif tidak pernah mampu memberikan pelayanan yang memadai bagi korban. Yang dibutuhkan adalah sikap proaktif untuk merawat alam agar bersahabat dengan kita. Ini harus dilakukan secara menyeluruh dan mendasar.
Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana telah menggariskan hal tersebut. Tak cukup dengan itu saja, beberapa aturan pelaksana kemudian dibuat diantaranya Peraturan Presiden (PP) nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulagan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengeloaan Bantuan Bencana, dan PP nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana.
Semua aturan itu jelas mengatur mekanisme penanggulangan bencana secara menyeluruh, mulai dari pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi setelahnya. Namun, lagi-lagi, pemerintah melupakan pengurangan risiko bencana secara maksimal. Pemerintah lebih sibuk pada tahap penyaluran bantuan mas panik (tanggap darurat).
Celakanya lagi, ini masa pesona ditebarkan menjelang pemilihan kepala daerah. Penyaluran bantuan dengan dana pemerintah itu malah dilebel sebagai bantuan “pribadi” sasarannya tentu mengharap dukungan suara pada pemilihan gubernur yang akan datang. Anehnya, media malah terjebak pada lakon tersebut; tebar pesona di tengah hiruk pikuk bencana.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Bencana dan Tebar Pesona"
Post a Comment