Vichitra pernah sangat dikenal sebagai penyair Aceh pada masa awal-awal kemerdekaan. Karya-karyanya dominan bercerita tentang perjuangan.
Kini tak banyak yang tahu tentang Vichitra, orang lebih mengenal Ali Hasjmi sebagai politisi dan penyair Aceh pada dekade awal kemerdekaan. Padahal karya-karya Vichitra tak bisa dikesampingkan dalam sejarah sastra di Aceh.
Vichitra berada pada suatu periode sejarah kesusastraan Aceh. Karya-karyanya banyak bercerita tentang heroisme masa perjuangan kemerdekaan di Aceh. Seperti pada puisi “Sekuntum Bunga” yang ia persembahkan kepada kakeknya, Tuanku Hasyim Bangta Muda (1558 – 1897) panglima angkatan perang Kerajaan Aceh.
Puisi ini di tulis di Lembah Seulawah pada tahun 1949. Ia seolah berbicara dengan kakeknya tentang tentang kepiluan dari para pejuang yang tak dihargai, para pahlawan yang dilupakan oleh generasi setelahnya. Vichitra menulis:
Kakekku
sekian lama engkau berjuang
berkorban untuk tanah airmu
menyambung nyawa di medan perang
di ujung pedang serta peluru
Puluhan tahun rencong tergenggam
dalam gumpalan asap mesiua
laskar berbaris engkau di depan
Bangta pahlawan gagah menyerbu
Tuanku Hasyim Bangta Muda yang disebut Vichitra dalam puisinya itu merupakan pimpinan pasukan Kerajaan Aceh yang mempertahankan Mesjid Raya Baiturrahman dari serangan Belanda kedua kalinya. Ia pada saat itu harus melawan angkatan perang Belanda yang dipimpin Lentan jenderal J Van Sweiten. Pensiunan tentara Hindia Belanda yang diaktifkan kembali dan didatangkan dari Belanda pada 9 Juni 1873 untuk menaklukkan Aceh dibantu Mayor Jenderal G M Verspijck. Agresi kedua Belanda ini dimulai pada 9 Desember 1873, ditandai dengan pendaratan pasukan Belanda di Kampung Lheue dekat Kuala Gigieng, Kabupaten Aceh besar.
Untuk menghadapi serangan Belanda itu, Tuanku Hasyim Bangta Muda dibantu oleh Teungku Imum Lueng Bata dan Teuku Nanta Setia. Selama delapan hari mereka melakukan pertahanan di pantai, kemudian mengundurkan diri untuk memperkokoh pertahanan di sekitar Mesjid Raya Baiturrahman, Peukan Bada, Lam Bheu serta komplek istana sultan Aceh (Dalam).
Vichitra menilai heroisme dan kegigihan kakeknya itu yang juga salah seorang adik Sultan Aceh, dilupakan oleh generasi setelahnya. Pada bait selanjutnya Vichita melanjutkan:
Kini telah lama engkau berhenti
melepas lelah jerih payahmu
jasamu terpaku menjulang tinggi
terpendam dalam timbunan waktu
Alangkah pilu hatiku poyang
engkau semakin di alam restu
darma baktimu tersisip hilang
para pujangga tiada tahu
Pena mereka tiada menggores
meliukis rona perjuanganmu
sukma mereka tiada menangis
menembang sayu lagu wafatmu
Vichitra merasa sendirian mengenang perjuangan kakeknya itu. Ia seolah mengabarkan dalam puisinya bahwa jasa panglima besar angkatan perang Kerajaan Aceh tersebut sudah dilupakan. Pada bait terakhir ia menulis.
Poyangku
biarlah aku cucumu sejati
menggubah indah perjuanganmu
jasa jasamu di zaman dulu
Pada puisi-puisi lainnya, Vichitra juga masih bercerita tentang Tuangku Hasyim Bangta Muda, kakeknya itu. Ia begitu membanggakan kakeknya sebagai panglima perang. Seperti dalam puisi “Panglima Aceh” yang ditulisnya di Lembah Seulawah pada tahun 1946.
Dalam puisi ini ia bercerita tentang watak orang Aceh yang tungang, yang mewariskan darah pejuang secara turun temurun, yang dengan sesama bangsanya sendiri sering bertikai, apa lagi dengan musuhnya. Vichitra juga bercerita tentang siasat perang dan regenerasi para panglima perang Aceh di zaman perjuangan melawan Belanda. Vichitra menulis:
Sudah bertanda sejak zuriat
putra rencong gagah perkasa
dalam sejarah berabad-abad
turun temurun bangsa panglima
Bukankah kita sudah melihat
setengah abad dengan Belanda
sukar terkikis semangat kuat
darah wasiat tetap menyala
Putra Aceh terkenal “tungang”
pusaka moyang semenjak purba
gagah perkasa di medan perang
dalam berjuang membela nama
Selama rencong sanggup digenggam
pantang dicoba menyindir kata
sedang sebangsa lazim bertikam
konon berdepan dengan musuhnya
Panglima Aceh segan ditentang
siasat perang usah digaya
setiap ayah rebah berjuang
putranya tampil jadi panglima.
Orang Aceh juga dikenal tak kenal kompromi dalam peperangan. Tentang hal ini digambarkan Vichitra dalam puisi “Pantang Adatku” yang ditulisnya di Lembah Seulawah pada tahun 1945. Orang Aceh juga digambarkan sebagai pendendam yang akan mewariskan dendamnya itu kepada generasi setelahnya. Utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Begitulah gambaran Vichitra tentang pejuang Aceh yang tak kenal menyerah apalagi tunduk kepada musuhnya. Ia menulis dalam puisinya:
Patah seulawah terbang merata
runtuh purnama bergugur bintang
tergenang darah tenggelam dunia
namun menyerah adatku pantang
Berguncang sawang lekang mentari
hancur semesta menjadi debu
bahkan tertungkup langit dan bumi
pantang kusembah musuh poyangku
Biarlah dunia tetap tak damai
biarlah mega bercelup darah
utang piutang mesti selesai
ampun kujanji di ujung siwah
Masih kusimpan petaruh lama
rencong pusaka masih bergagang
masih terngiang amanat Poma
selesai tikai di mata pedang.
Pada puisi lainnya Vichita menulis tentang dialog ibu dan anak sebelum menuju ke medan juang untuk menuntut balas kematian ayahnya. Ia bercerita tentang kerelaan seorang ibu melepas anaknya ke medan juang. Hal itu digambarkan Vichitra dalam puisi “Putra Panglima” yang ditulisnya pada tahun 1944.
anakku putra panglima
dengar kukata pesan ayahmu
ia tewas di rimba raya
dalam perang sabil masa dahulu
anak tertekun di muka ibu
mendengar kisah ayah kandungnya
di hati bergema rintihan pilu
Anakku petaruh ayah
jangan bimbang putra panglima
ibu tinggal usah digundah
hidup mati ada jangkanya
Ibuku bunda satria
usah dikaji berulang kali
hamba bersumpah menyerah nyawa
menuntut bela ayah yang mati
Begitulah Vichitra, penyair Aceh yang terlupakan, menulis pada masa perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ia yang mengaku cucu Tuanku Hasyim Bangta Muda sangat mengelu-elukan heroisme kakeknya itu dalam melawan penjajah. Namun sayang tak ada catatan dalam khasanan kesusastraan Aceh tentang siapa sebenarnya Vichitra, yang saya yakin itu hanyalah sebuah nama alias dari seorang penulis yang hidup di zaman pergolakan.[]
Artikel keren lainnya:
1 Tanggapan untuk "Vichitra"
Dunia penyair entah bisa diibaratkan apa, tepatnya. Terdapat banyak yang bahkan demikian saja yang terlupakan, entah mungkin karena mereka tidak getol unjuk diri.
Tulisan ini setidaknya mengawali penggalian atas mutiara-mutiara lama yang tersembunyi. Semoga saja kita kuasa terus menggalinnya.
Mameh, Pak Is
Post a Comment