Sekadar Kata untuk Antologi Tsunami Kopi)Ketika menerima antologi ini, yang terpikirkan adalah hiruk pikuk warung kopi dengan ragam fenomenanya. Namun mengeja laman-laman yang tersaji, tak kutemukan tumpahan kopi itu, apalagi menjelma bagai tsunami yang membasahi kerokongan kota mati yang coba hidup kembali.
Yang kutemukan hanya secuil kesendirian dalam rona merah jambu, cuil lainnya luka gelombang raya dan nestapa dari kuasa yang tak memihak yang dikuasakan. Aku lebih memilih yang terakhir untuk menyimaknya sebagai sebuah catatan himpunan kata pengingat akan kekuasaan.
Tinggalkan sejenak cinta merah jambu itu, meski ini malam minggu, mari kita baca prihatin dari “Tsunami Kopi” yang hendak menggugat kekuasaan bahwa kata masih ada untuk mencambuknya, meski dalam kalimat kecil sekalipun. Karena ketika kekuasaan telah mematikan unsur kemanusiaan, maka puisi menjadi terdakwa untuk menggugatnya. Ketika duka begitu menga-nga dari kuasa yang tak berbelas budi, maka puisi wajib menonjoknya.
Tak perlu kita berlama-lama menumpahkan isi hati untuk si polan yang jelita dan si polen yang kekar mempesona. Itu sangat pribadi, tapi mari kita menulis lebih dari itu, bahwa hari ini ada yang perlu diluruskan setelah koridor ditinggalkan melompong.
Puisi sebagai sebuah karya mempunyai kaitan erat antara penyair dan latar belakang penciptanya. Puisi tidak lahir dari kekosongan budaya, melainkan dalam konteks sosial dan realita di zamannya. Dan Aceh kali ini bukanlah sebuah keberesan, ada ketakberesan yang perlu diungkap lidah-lidah kata di laman-laman antologi.
Menulislah untuk menulis nama sendiri dengan HURUF HURUF KAPITAL, sebagaimana Gibran menulis nama besarnya ketika hijrah dari Lebanon ke Amerika Serikat pada 1893. Ini zaman yang masih kacau, tulislah kekacauan itu, sebagaimana Gibran pernah berkata. “Kehidupan yang kacau adalah pengasah yang paling tajam untuk imajinasiku.” Jadi jangan lagi larut dalam asahan hati yang merah jambu itu.
Menulislah seperti “Mein Kampf” yang lahir dari tangannya Hitler di relung terkecil penjara, yang membuatnya menjadi hantu penebar resah, mejelma jadi patung-patung dan monumen peringatan.
Lalu lihatlan Recep Tayyip Erdogan yang dengan puisi kontroversinya mampu mengantarkan dia menjadi Perdana Menteri Turky hingga dua periode. Di negeri sekuler itu Erdogan menyatakan identitasnya sebagai muslim ia berkata: Topi baja kubah kami, Bayonet menara kami, dan muslim adalah serdadu kami.
Para penulis yang saya sebutkan tadi adalah sedikit diantara penulis yang peka dengan kuasa yang cuma mampu menguasai. Mereka menggugat kekuasaan untuk tak sekadar menguasai tapi mengayomi. Jadi, sebagaimana Albert Einsten nukilkan dalam “Out My later Year” hidupilah gagasan dari setiap kata yang terangkai.
Untuk menghidupi gagasan itu, maka jangan pernah membunuh kata dan pertanyaan, apalagi mencampakkannya dalam ketakberhargaan. Ingat petuah penyair ternama Gerhasd Fors, “Jangan pernah membunuh pertanyaan, ia adalah benda yang rapuh. Pertanyaan yang baik pantas untuk hidup. Kapanpun ada pertanyaan biarkan ia hidup.” Jadi mari kita bertanya, apa yang harus kutulis setelah ini, masih merah jambukah, atau hitam putih yang bukan abu-abu. Mari bawa tsunami itu tidak hanya di warung kopi, tapi tumpahkan ia ke meja kekuasaan sejak dini.
Sekarang mari kita simak laman-laman “Tsunami Kopi” tentang secuil yang saya sebutkan tadi.
1. Ahmed Abduh
Pada laman lima ada Ahmed Abduh dengan Pemusnahan Budi, yang mengajak kita untuk selalu waspada terhadap rayuan kekuasaan yang ujungnya menista. Ia mengajak kita untuk tidak lena, apalagi ini masa kekuasaan diperebutkan dalam pesta obral janji. Ahmed Abduh menukilnya dalam:
Pemusnahan budi tak menghiraukan akibat dari suatu perbuatan
Karena itu sudah menjadi kebiasaan
Malu bila tidak melakukan, hinaan sudah dianggap pujian
Dengan suka ria dia membantai budi-budi manusia beriman
Ahmed Abduh merekam kenyataan kekinian tentang watak peguasa yang sudah di luar budi, yang merusak tatanan kekuasaan yang memihak rakyat tanpa menghiraukan dampak dari politik yang dijalankannya. Kekuasaan yang dinilainya tak lagi berbudi yang mengangap hinaan sebagai pujian.
Ia juga mencoba merekam keresahan korban tsunami, melalui coret-coret di dinding kota yang dilihatnya. Dalam Ziarah Lumpur ia nukilkan hal tersebut.
Lihatlah tulisan di dinding itu, mereka coba menghibur
Mengajak kami untuk bangkit kembali dari keterpurukan ini
Tapi, dari belakang mereka menari-nari di atas uang ziarah yang mereka curi
Idrus Bin Harun
Idrus Bin Harun juga mencoba kabarkan hal yang sama dalam puisinya Lamno
Aku sempat mabuk dalam kopimu
Sambil bertanya-tanya
Tentang rumah bantuan yang tak pernah sampai
Ke tangan si korban
Dan berharap-harap
Rehab rekon bukan suatu omong kosong di sana
Decky R Rissakota
Kemudian ada Decky R Rissakota yang di Nusantara merasa dizalimi bangsanya sendiri. Dengan singkat dan padat ia kabarkan kepanikannya hidup di negi yang tak jelas ini. Kepada ibunya ia megadu.
Bu, aku dicekik bangsa sendiri. Lalu ia merintih …..kkkhhhh
Muhadzdzier M Salda
Muhadzdzier M Salda juga senada, ia yang dalam diam Diam memaki penguasa negerinya yang tak memihak pada si Minah, representasi si miskin yang diabaikan pemerintah.
Kulirik si Minah
Memungut nasi di tong sampah
Kau ini memang tolol
Tak kau hirau rakyatmu
Muhajir Pemulung
Berlanjut kemudian pada Muhajir Pemulung dalam Damai Sebotol Pewangi yang mencoba mempertanyakan kembali derita dari petaka konflik Aceh, yang korbannya belum sepenuhnya diperhatikan penguasa.
Dan di kampungku anak-anak masih bertanya di mana jasad bapaknya
Siapa yang telah membawa bapaknya dan siapa yang telah merobek perawan saudara perempuannya.
Ia mempertanyakan itu kepada siapa saja yang menominalkan derita dalam deretan angka-angka. Kita ketahui jumlah korban perang di Aceh sampai sekarang banyak yang belum tersentuh, mereka masih tertimbun dari deretan angka-angka di kertas laporan penguasa. Bahkan aktivis sekalipun yang menjadikan angka-angka itu sebagai objek untuk memperdagangkan “darah” dalam proposalnya. Muhajir mempertanyakan itu pada:
Bisakah kau jawab wahai penguasa?
Bisakah kau jawab wahai Yudhoyono?
Bisakah kau jawab wahai Irwandi?
Bisakah kau jawab wahai aktivis LSM yang hidup dari uang darah para syuhada dengan program dan proyekmu itu?
Muhajir seolah berkata pada kita semua untuk tak lupa bahwa duka dan air mata dari petaka itu belum kering. Kita semua harus membasuhnya dengan tangan-tangan cinta, bukan menambah cuka di atas luka.
Reza Mustafa
Terakhir ada Reza Mustafa mengajak kita semua yang memilih hidup sebagai koki kata, untuk tidak melulu larut dalam sajak merah jambu, tapi melihat fenomena dan merekamnya untuk sebuah suara. Dalam Penyair Mati, ia mengharap kita tidak mati rasa akan fenomena di sekitar kita.
Penyair jangan mati rasa
Dentingkan gelas damai pada gendang telinga
Para punggawa negeri yang bertikai
Mengulang apa yang saya sebutkan di awal tadi, ketika kekuasaan telah mematikan unsur kemanusiaan, maka puisi menjadi terdakwa untuk menggugatnya. Ketika duka begitu menga-nga dari kuasa yang tak berbelas budi, maka puisi wajib menonjoknya.
Belajar Pada Masa Lalu
Mari kita belajar pada sejarah pergerakan pembebasan Asia, di mana puisi ikut menjadi bagian dari tumbuhnya teologi pembebasan, seperti Teologi Minjung di Korea, perjuangan umat kristiani di Filipina, dan teologi Dalit di India.
Dalam teologi Minjung, seorang penyair yang juga pegawai kerajaan, Yulogk (1582) dengan empatinya merekam dan menggugat kekerasan yang dialami masyarakat Korea dalam tradisi konfusian yang bangkit saat itu. Ia malah rela menerima kekerasan terhadap dirinya dari pada melihat rakyat mati tanpa suara. Dalam puisinya ia menulis,
Saya aka suka rela menerima hukuman apa pun
yang akan saya sandang
akan lebih mudah bagi saya mati kelaparan
di antara lubang batu karang
dari pada melihat rakyat mati tanpa suara.
Yulogk lewat puisi yang dikirim kepada rajanya itu, menggugat kebijakan sang raja yang memberlakukan tarif pajak terlalu tinggi, sementara rakyat terus hidup dalam kemiskinan.
Begitu juga dengan perjuangan umat Kristiani di Filipina pada awal 1980-an dalam revolusi EDSA yang menumbangkan pemerintahan diktator Ferdinan Marcos, juga melahirkan puisi-puisi miris tentang kegetiran hidup rakyat dalam revolusi tersebut. Puisi-puisi protes yang muncul seolah menjelma menjadi nyanian-nyanyian, mazmur-mazmur yang menggambarkan sejarah yang berlangsung saat itu.
Salah satu puisi yang kerap didendangkan rakyat Filipina sebagai mazmur itu adalah:
Aku tidak takut akan hantu
tidak pula meratapi pembunuhan keji
tanpa tempat istirahat yang laya
Tidak jadi soal kalau anak-anakku
istriku, kawan-kawanku, dan keranatku
tidak melihat aku menghembus nafas terakhir
sebab mereka tahu bentuk kematian
rencana jahat orang-orang berkuasa
yang menunggu mereka yang berjuang
agar keadilan ilahi merajai di negeri ini.
Penyair Detrich melalui puisinya juga merekam sejarah perjuanan emansipasi wanita di negara tersebut. Lewat puisi, Detrich berusaha melepaskan kaum perempuan dari dominasi kaum pria yang dianggapnya menjadi “mesin” penggilas kebebasan perempuan Filipina.
Kamulah (kaum pria-red) yang telah menciptakan
mesin-mesin bagi penyebar maut
untuk setiap orang di bumi
Sejarah kesusastraan dalit kontremporer India juga mencatat Gibrielle Dietrich, Waman Numborka, E V Rames Periyal, Bhimrao Ambedkar, Arun Kamble. Mereka adalah para penyair yang dalam puisinya menggambarkan tentang pengorbanan, penderitaan, dan pertumpahan darah untuk menggapai kebebasan dari sebuah penindasan.
Hal itu sebagaimana ditulis kembali oleh See Eleanor Zelliot dalam buku Maleikal, sebagai salah satu bahan untuk mengungkap wajah kekerasan di India. Zelliot tergerak untuk menganalisa kembali empati para penyair dalam merekam kekerasan lewat puisi-puisinya. Numborka menulis.
Bila aku tak tahu apa apa
aku tahu kastaku dihina
Patil menendang ayahku
menyerapahi ibuku
bahkan mereka tidak mengangkat kepala.
Hal yang sama juga ditulis penyair EV Rames Periyal dan Bhimrao Ambedkar. Kedua penyair ini melalui karyanya meningalkan catatan sejarah bahwa puisi juga merupakan pemecik api gerakan melawan diskriminasi sosial.
Puisi-puisi gugatan sosial itu penuh dengan kemirisan. Kemirisan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kekuatan sosial. Lagi-lagi puisi dinobatkan sebagai bagian dari rekaman sejarah. Dalam buku Political Consideration Upon Revined Politic and The Master Strokes of State, Gabriel Neude (1711) menggambarkan salah satu bait yang bernada miris tersebut:
Kilat menyambar sebelum suara terdengar
doa diucapkan sebelum lonceng dibunyikan
rakyat menderita tanpa mengharap penderitaan
dan mati sementara meyangka akan tetap hidup
semua terjadi dalam gelap
dalam topan dan kekecauan.
Sementara itu penentangan yang dilakukan oleh Mahadeviakka sangat unik dan bersikap profetis dan kontra kultural, yang mengangkangi norma-norma. Bahkan kaum perempuan India sendiri merasa malu dengan cara penentangan tersebut. Mahadeviakka mengembara telanjang bulat. Tubuhnya hanya ditutupi dengan rambutnya yang panjang. Dalam pengembaraannya itu, ratusan puisi lahir merekam realitas dalam usa menggapai perubahan dari apa yang ditentangnya.[]
Artikel keren lainnya:
2 Tanggapan untuk "Tsunami Jangan di Warung Kopi"
kekuasaan bergerak tanpa teks.sehingga mati sendiri lama kelamaan,
sastra berlari dengan kata-kata, di simpang lain, kita hajar kekuasaan dengan kalimat.salam
Nyoe meusigak meunyoe ka lam ulasan Tgk Is
Post a Comment