Hadihmaja sangat melekat dalam tatanan hidup masyarakat Aceh. Petatah-petitih yang kadang sangat filosofis ini menjadi media penyampaian berbagai hal.
Hadihmaja telah menjadi symbol dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hampir setiap lini budaya Aceh, menggunakan hadihmaja sebagai bahasanya. Sebut saja seperti tutur kata dalam upacara adat, terutama menyangkut adat perkawinan.
Hadihmaja kerap juga dipakai sebagai bahasa plesetan, yang beisikan kritikan terhadap orang-orang yang mengangkangi nila-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan.
Satu hadihmaja yang sangat terkenal dalam masyarakat Aceh adalah, Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah (ulama) Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Hadihmaja itu telah menajdi falsafat hidup bagi rakyat Aceh. Hadih maja ini kemudian dipertegas oleh hadihmaja lainnya hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut, syit ka hanjeut meupisah dua.
Hadihmaja tadi mengandung pembagian kekuasaan dalam pemerintahan Kerjaan Aceh dengan spesialisasi masing-masing. Secara harfiah bisa diartikan, hukum adat di tangan raja, hukum agama di tangan ulama, hak membuat undang-undang ada di tangan Putroe Phang. Putroe Phang yang dimaksud di sini adalam perlambangan dari lembaga pwerwakilan rakyat (eksekutif).
Kemudian keuasaan darurat atau dalam keadaan perang ada di tangan Laksamana sebagai panglima besar angkatan perang. Antara adat dan hukum itu kemudian dipertegas oleh hadihmaja kedua yang saya sebutkan tadi, hukum agama dan hukum adat, seperti zat dengan sifat tidak bisa dipisahkan.
Menurut Ali Hasjmy, hadihmaja tadi sebagai suatu filsafat politik telah menggarisbawahi bahwa adanya pembagian kekuasaan dalam Kerajaan Aceh, yakni: Sultan sebagai kepala pemerintahan pemegang kekuasaan politik, adat dan eksekutif. Kadhi Malikul Adil (Ulama) sebagai pemegang kekuasaan yudikafit (Mahkamah Agung).
Sementara rakyat pemegang kekuasaan pembuat undang-undang (legislatif) yang dalam hadihmaja tadi dilambangkan sebagai Putroe Phang, permaisuri Sultan Iskandar Muda yang mempelopori pembentukan Balai Majelis Mahkamah Musyawarah Rakyat.
Kemudian pada waktu kerajaan dalam keadaan darurat, semisal perang, maka kekuasaan tertinggi ada di tangan Lakseumana yakni panglima perang yang dalam istilah kemiliteran Aceh dikenal dengan jabatan Wazirul Harb (Menteri Peperangan).
Meskipun pembagian kekuasaan seperti disebutkan dalam hadihmaja tadi menjadi pegangan utama, namun ada aturan pelaksana yang menjadi koridor dalam pelaksanaannya yakni sebagaimana ditegaskan dalam hadihmaja hukom ngon adat lagei zat ngon sifeut, syit hanjeut meupisah dua.
Maksudnya, kekuasaan politik (adat) dengan hukum yakni hukum Islam seperti zat dengan sifat yang tidak bisa dipisahkan, sehingga antara pemegang kekuasaan politik dengan pemegang kekuasaan hukum harus selalu ada kerja sama, menyatus eperti zat dengan sifat. Tentang hal ini ditegaskan dalam Kanun Meukuta Alam halaman 25, berupa anskah tua bertulis tangan dengan huruf Arab peninggalan Said Abdullah Tgk Di Meulek, Wazir Rama Setia (Sekretaris Kerajaan Aceh). Foto kopy naskah lama itu ada di Pustaka Ali Hasjmy, Banda Aceh.
Kemudian yang dimaksud sebagai hukum dalam hadihmaja tersebut adalah hukum Islam, karena undang undang dasar Kerajaan Aceh, Kanun Meukuta Alam menegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Kerjaan Aceh bersumber dari Alquran, hadis, ijma dan qiyas.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Pembagian kekuasaan dalam Hadihmaja"
Post a Comment