Yang berangkat siang itu
Adalah Adam dari kayangan
Selebihnya hawa
Sesuatu yang bernama di punggung bukit.
(Butong, Jum’at 22 Juli 1999)Sajak Pembantaian milik AA Manggeng mengigatkan saya kembali kepada tragedi pembantaian Tgk Bantaqiah di Beutong Ateuh tahun 1999 lalu. Kini A A sendiri yang harus berangkat Sabtu dini hari (27/3) di ranjang Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin. Pagi kemarin, rekan Sulaiman Tripa mengabari berita duka itu.
Setelah membaca pesan singkat dari Sulaiman, saya hanya mampu memuji kebesaran Illahi, sembari kemudian berucap pelan, bahkan pelan sekali.
Mutiara itu telah lepas dari cangkak
pasang membawanya ke tepi
namun surut yang menjilat pasir
menariknya kembali
dalam pangkuan cinta
kini kami menghadau tepian ituIngatan saya tiba-tiba mundur sekian tahun, ketika pertama kali terlibat dan bekerja sama dengan A A Manggeng dalam Film Neuhen Warisan garapan Yursi Ibrahim bersama Yusrizal Ibrahim yang kemudian jadi anggota DPRA dari Partai Demokrat. Dalam film itu juga terlibat seniman debus Yun Casalona.
Penggarapan film yang shootingnya dilakukan di Alue Naga Banda Aceh dan Peukan Bada Aceh Besar sekitar satu bulan itulah yang membuat saya lebih dekat dengan A A Manggeng. Setelah film garapan Koperasi Karyawan dan Artis Film Aceh (Kopkafasa) itu rampung pada tahun 2002, praktis hubungan saya dengan A A Manggeng jadi renggang karena kesibukan masing-masing. Saya melanjutkan profesi sebagai jurnalis, sementara A A Manggeng sibuk dengan aktivitasnya sebagai pegawai negeri di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh.
Kedekatan dengannya kembali terjalin pada pertengahan 2006, ketika itu A A Manggeng sudah bekerja sebagai Direktur Budaya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD – NIAS di Lambhuk, Banda Aceh. Kantornya persis di samping HARIAN ACEH tempat saya bekerja sekarang.
Kala itu masih dalam suasana lebaran dan saya masih berada di kampung halaman, Meureudu, sahabat dekat saya (Alm) Ridwan Haji Mukhtar mengabarkan bahwa nama saya dimasukkan sebagai salah seorang tim penulis buku Ensiklopedi Aceh bersama Dr Alamsyah, Mukhlis A Hamidi, Sulaiman Tripa (ketiganya dosen Universitas Syiahkuala) Ridwan Azwad (praktisi sejarah) dan Hermandar.
Segala biaya untuk penulisan buku itu ditanggung oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD – NIAS Sakter Revitalisasi Budaya, tempat dimana A A Manggeng manjadi Direktur. Masuknya nama saya dalam tim tersebut, saya sangat yakin atas andil A A Manggeng dan Ridwan Haji Mukhtar, serta seorang kawan saya lagi yang juga bekerja di sana, Din Saja.
Dalam beberapa pertemuan di Lambhuk, saya mulai melihat A A Manggeng yang bernama lengkap Asnawi Aida Manggeng sebagai lelaki pengembara, sebagaimana pernah dinukilkan dalam sajaknya.
Tuhan,
bawalah jiwaku dalam sungaiMu
hanyut dalam arus tenang dan bergelombang
singgahkan aku pada tebing-tebing rerumputan
agar aku bisa rebahkan letihku dalam embun maafMu
mata air yang berdarah
beningkan dalam cawan kemuliaan
aku ingin reguk kenikmatan dari cawan yang memabukkan
bertemu makna kesucian
Tuhan,
bawalah aku dalam kendaraanMu
melintasi lintasan persimpangan dan
singgah di rumah-rumah keteduhan
agar aku lebih lama bersimpuh dan istirah
di alam ketenangan.
Tuhan,
aku teruskan pengembaraan
ke tengah-tengah rimbun Ridha-MU.
(Aceh, 1994)
Kini Tuhan benar-benar telah membawanya ke sana, ke tempat yang ia pinta. Masa hidupnya di kalangan sastrawan Aceh dikenal sebagai sastrawan yang produktif. Ia seniman serba bisa, baik sebagai aktor panggung teater, sutradara, juga penyair. Pria kelahiran Februari 1964 menamatkan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) spesialis jiwa Bogor pada tahun 1988. Tak lama pulang dari sana ia bekerja di Rumah Sakit Jiwa banda Aceh.
Sebagaimana profilnya yang termuat dalam blog Aliansi Sastrawan Aceh (ASA), karya-karya A A Manggeng tersebar di berbagai media massa di Aceh, Medan dan Jakarta, seperti; The Jakarta Post, Waspada, Serambi Indonesia dan Dunia Wanita. Karyanya bersama penyair Aceh terakum dalam antologi Seulawah (1995), Dalam Beku Waktu (2002), Putroe Phang (2002).
Dalam organisasi kepenyairan A A Manggeng pernah menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Dewan Kesenian Aceh (2000 – 2004), Koordinator Program di Teater Mata. Selain itu juga pernah menjadi editor beberapa buku sastra seperti; antologi Puisi HAM Keranda-keranda (Elsam Jakarta), kumpulan cerpen Remuk (Dewan Kesenian Banda Aceh), dan kumpulan essay Takdir-takdir Fansury (Dewan Kesenian Banda Aceh). Ia juga salah seorang dosen di Sekolah Menulis Dokarim.
Di luar dunia kepenyairan, A A Manggeng juga sangat peka dalam persoalan sosial. Sebagai wartawan saya pernah menangkap antusiamenya yang luar biasa pada pelatihan tatalaksana penanganan pasien penderita penyalahgunaan narkoba bagi 30 perawat. Ketika itu A A Manggeng menjabat sebagai Kepala Bidang Terapi Rehabilitasi Badan Narkotika Provinsi (BPN) Aceh. 15 dari 30 perawat yang mengikuti pelatihan tersebut merupakan kawan-kawan A A Manggeng di Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh.
Kini mutiara itu telah didekap bumi Manggeng. Dari tanah kita kembali ke tanah. Untukmu yang pergi di dini hari itu, tunggu kami di halte selanjutnya. Selamat jalan kawan. Engkau telah pergi dengan secercah rasa di hati kami semua.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Perginya Sipengembara"
Post a Comment