Sayang! Aku masih di sini, menatap riak dari gelombang kisah kita. Malam ini kukabarkan padamu tentang musuhku yang sangat dekat. Ia kekasih yang menyayatku dengan sembilu, yang menjadikan cinta barang dagangan, yang selalu menarik laba dari pengorbanan yang tak seberapa. Cintanya telah membuat syukur jadi beban dan khianat sebagai ketenangan.
Marlina! Aku telah menyuap singa, yang dengan taringnya memangsa cintaku, hingga hatiku buntung. Aku tak membandingmu dengannya. Hanya saja mengabarkan padamu, sebagaimana kita pernah bertukar kisah tawa dan air mata. Setelah kepergianmu dalam gelombang itu, kasih telah hidup sebagai tipuan. Bagaimana aku harus mengusirnya dengan hati yang tak karuan.
Dengan gusar kuingat akan Gibran. Ia yang jenius kabarkan cinta, tapi takluk pada cintanya yang tak kesampaian. Ia yang mengakui ramai pria memuji hati wanita, tapi sangat sedikit yang mampu memilikinya. Seperti ia yang gagal memiliki Salma. Aku juga ingin jadi bilangan kecil itu, untuk memiliki hati lain menggantikanmu, karena aku ingin mencintai dirinya seutuhnya, bukan mencitai dirimu dan diriku dalam dirinya.
Tapi kini, cinta tak lagi jadi cinta. Ia sudah terlalu angkuh untuk menangis. Terlalu serius untuk tertawa, serta terlalu egois untuk melihat yang lain selain dirinya. Namun, lelaki sejati akan mencintai kekasihnya dengan caranya sendiri. Seperti Gibran mencintai Salma dengan senandung satirnya. Begitu juga cintaku padamu. Cinta yang singkat, sesingkat parade murka yang hanyutkan tiga ratus ribu nyawa di pagi penuh air mata. Ada air mataku diantaranya, meratap kepergianmu yang tak berlambai.
Marlina! Ruang hatiku begitu sempit untuk mengenangmu. Namun, di ruang sempit itu telah terbit kasih sempurna, meski cintaku padamu tanpa pemenuhan. Sekarang aku harus menanggung luka yang ditikamnya. Ia yang dulu datang dengan topeng wajahmu. Dengan skeptis kutimang cintanya, tak ada yang setulus dirimu. Tapi kini di kelopak mana harus ku pasang mata, setelah kau runtuh dalam gelombang tungganganmu.
Bila Gibran tahu nisan Salma tempat menitip salam kenangan. Aku hanya bisa merapal doa, setelah kau pergi tanpa pusara. Cinta tulusmu telah jadi sahabat batinku, yang harus kulawan demi cinta yang lain yang mengepak sayap untuk kujawab dengan cinta yang lebih besar. (Banda Aceh, Tiga tahun gelombang raya)
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Hati yang Buntung"
Post a Comment