Banguna hanyalah nama sebuah sampan di tahun 1960-an. Abdullah Husein membuatnya terkenal hingga ke Eropa dan Amerika. Namun, heroisme sang maestro teramputasi darah manis. Inilah sebuah catatan mengenang legenda seudati, Syeh Lah Banguna.
Banguna berakar dari dua kata dalam bahasa Aceh; ban yang bermakna seperti dan guna yang berati kegunaan. Seperti kegunaannya begitulah awal ketika nama itu ditabalkan pada sebuah sampan ditahun 1960-an oleh Husein, seorang nelayan di Desa Meunasah Jurong Teupin Pukat, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya.
Husein memiliki beberapa anak, salah satunya Abdullah. Saban hari Abdullah kecil menuju muara kuala Meureudu menjemput ayahnya yang baru pulang melaut. Banguna nama sampan ayahnya selalu membekas dalam ingatannya.
Abdullah kecil merupakan anak yang lincah dan agak nakal. Suatu ketika di tahun 1963 ia menonton tunang (perlombaan) seudati di Balai Kecamatan Meureudu. Saat itu Abdullah yang masih duduk di Sekolah Rakyat (SR) mengajak kawan-kawannya untuk meniru gerakan dalam tari seudati.
Salah seorang yang diajaknya adalah Idis, adiknya yang kemudian terkenal sebagai Syeh Rih Meureudu, salah seorang syeh seudati ternama. Mereka melakukan latihan seudati tanpa ada pelatih di sebuah kebun kosong di tengah sawah.
Namun, latihan seudati ecek-ecek itu ditentang oleh ayahnya. Alasannya, latihan yang lebih kepada main-main itu membuat Abdullah dan Idris lalai. Ia tidak ingin pendidikan dan rutinitas pengajian dua putranya itu terbengkalai.
Namun Abdullah dan Idris yang sudah kandung jatuh hati pada seudati tetap ngotot mencuri waktu untuk latihan dari satu kebun kosong ke kebun kosong lainnya. Memilih kebun kosong untuk latihan merupakan cara jitu untuk tak dikatahui banyak orang.
Seorang syeh seudati di Meureudu kemudian melihat kesungguhan dan potensi yang dimiliki Abdullah, idris, serta kawan-kawannya. Syeh seudati senior itu kemudian membangun sebuah balai di pinggir sungai Meureudu dekat pasar ikan sebagai tempat latihan. Sejak itulah mereka bisa berlatih dengan rutin tanpa meninggalkan rutinitasnya mengaji dan bersekolah.
Tak lama kemudian group seudati cilik itu diajak untuk ikut lomba pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia. Saat naik ke pentas, group ini belum punya nama. Abdullah yang dinobatkan sebagai Syeh ditanyai oleh panitia, apa nama kelompok seudati mereka. Dengan spontan ia menjawab “banguna” nama sampan ayahnya.
Nama itu melekat hingga ia dikenal sebagai Syeh Lah Banguna. Lah merupakan penggalan dari nama Abdullah. Sementara Idis adiknya kemudian juga terkenal sebagai Syeh Rih Meureudu, yang sudah hampir 20 tahun mengajar seudati di sanggar Cut Nyak Dhien pendopo Gubernur Aceh.
Ketekunan dan kegigihan kemudian membuat kelompok seudati cilik Syeh Lah Banguna ini menang pada tunang perdananya itu. Beranjak dari itulah kelompok cilik ini kemudian dibawa untuk ikut berbagai pertunjukan seudati di berbagai daerah. Nama Syeh Lah Banguna semakin tenar ketika tampil pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 di Banda Aceh.
Penampilan Syeh Lah Banguna selalu menarik perhatian penikmat seudati. Apalagi ketika tampil di lapangan Kuta Asan Sigli. Ia diadu dengan kelompok Syeh Lah Geunta dari Aceh Timur. Syeh Lah Geunta dan Syeh Lah Banguna merupakan dua nama yang sangat fenomenal dalam seni Seudati. Namanya sejajar dengan almarhum Syeh Nek Rasyid dan Syeh Rih Krueng Raya.
Melihat kepiawaian Syeh Lah Banguna dan Syeh Rih adiknya dalam bermain seudati, pada tahun 1976, Ibnu Arhas salah seorang seniman Aceh mengajak keduanya ke Medan untuk rekaman. Syair-syair seudati direkam dalam bentuk kaset di rumah rekamam Robinson Medan.
Pulang dari sana, Syeh Rih yang sudah belajar banyak bersama abangnya itu kemudian mendirikan kelompok tari seudati sendiri. Kelompok mereka dikenal sebagai group Syeh Rih Muda, karena waktu itu ada juga seorang syeh seudati senior yang mempunyai nama yang sama yakni Syeh Rih Krueng Raya.
Tahun 1984 Syeh Lah Banguna dan syeh seudati lainnya di Aceh untuk melakukan
pertunjukan seudati di Jakarta oleh Ikatan Mahasiswa dan pelajar Aceh (IMAPA). Saat itu Syeh Rih Muda atau lebih dikenal Syeh Rih Meureudu kembali bergabung memperkuat kelompok seudati Syeh Lah Banguna.
Pulang dari sana, mereka kemudiandiundang ke beberapa negara. Yang paling lama adalah ketika selama sebuh melakukan pertunjukan di sepuluh negara bagian di Amerika Serikat pada tahun 1990.
Para pemain seudati yang dibawa ke negeri adi daya tersebut merupakan pemain seudati ternama yang dikumpulkan menjadi sebuah kelompok seudati baru. Mereka adalah Syeh Lah Geunta, Syeh Lah Banguna, Syeh Rih Muda, T Abu Bakar, Syeh Jafar, Syeh Muktar, Alamsyah, Marzuki dan Nurdin Daud.
Dua nama terakhir merupakan dosen dan koreografer tari seudati di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Marzuki sampai kini masih mengajarkan seudati dan kesenian Aceh lainnya di IKJ, sementara Nurdin Daud, koreografer tarian massal saat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional di Aceh tahun 1980, kini sudah almarhum.
Dalam kelompok seudati itu, Syeh Lah Bangunan dan Marzuki bertindak sebagai aneuh syahi (vokal-red) yang membawakan syair-syair seudati yang menghentak. Sementara yang lainnya bertindak sebagai penari.
Di Amerika mereka main seudati di sepuluh negara bagian. Mulai dari San Fransico, Atlanta, Iowa, sampai acara puncak di New York. Disetiap negara bagian mereka melakukan pertunjukan tiga malam, kecuali pada acara puncak di New York sepuluh malam.
Setelah pertunjukan usai, penonton tidak berhenti bertepuk tangan, layar yang sudah diturunkan, dinaikkan kembali sampai tiga kali. Mereka terkesima, melihat irama rap dalam syair seudati. Mereka geleng geleng kepala, tak habis pikir ketika ketip jari, tepuk dada dan hentak kaki, jadi irama syair seudati yang begitu cepat nada dan hentakannya.
Tahun 1992, melakukan pertunjukan di Spanyol selama 20 hari pada acara Expo dunia di Kota Sevilla. Tahun 1994 melakukan pertunjukan di Belanda selama 22 hari. Pulang dari sana berulang kali melakukan pertunjukan di negara-negara ASEAN.
Pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) keempat Agustus 2004. Syeh Rih Meureudu melatih pejabat teras di Pemerintahan Aceh untuk main seudati. Ia bersama Gubernur Abdullah Puteh melakukan seleksi para kepala dinas dan pejabat eselon untuk dilatih seudati. Sementara Syeh Lah Banguna melatih siswa di beberapa sekolah di Banda Aceh.
Pada tahun itu Syeh Lah Banguna juga mendapat undangan dari Art Network Asia ke Singapura untuk mengisi kreasi tari seudati dalam tari asia serumpun. Namun ia gagal berangkat karena tidak adanya biaya.
Di masa akhir hayatnya, Syeh Lah Banguna terus berupaya menurunkan bakat seudatinya kepada salah satu anaknya. Kelompok tari seudati cilik itu dinamia Banguna Muda. Setelah menjuarai berbagai even kelompok Banguna generasi dua ini juga tenggelam. Apalagi saat itu Aceh dilanda konflik.
Hari-hari Syeh Lah Banguna dilalui di pasar ikan Meureudu. Sementara Syeh Rih adiknya, menjadi pelatih seudati di Sanggar Cut Nyak Dhik di komplek pendopo Gubernur Aceh hingga kini.
Kisah hidup Syeh Lah Banguna akhirnya berujung tragis. Kaki yang kerap menghentak berbagai panggung ke seantero jagat itu lunglai ketika diserang penyakit darah manis. Ia terkapar di rumahnya di Desa Meunasah Jurong Teupin Pukat, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya.
Maestro seudati yang telah mengharumkan nama Aceh ke berbagai belahan dunia denan seabrek penghargaan itu, dimasa tuanya harus rela kakinya diamputasi. Itu pun dengan biaya bantuan salah satu NGO internasional yang pernah menjadi mitranya saat melatih tari seudati bagi korban tsunami. Tak lama setelah kakinya diamputasi Syeh Lah Banguna meninggal di awal tahun 2008. ***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Banguna; Heroisme Teramputasi"
Post a Comment