Mengawali bulan ini, beberapa kawan mengeluh. Ada masalah subtansial menyangkut hajat hidup yang tak diselesaikan. Bukan tak bisa diselesaikan, hanya saja upaya penyelesaiannya sungguh sangat berlarut. Penyebabnya pun sepele amat.
Mencermati hal itu, saya teringat pada Peter L Berge pada tahun 1974 lalu. Katanya, kebijakan yang dibuat penguasa (baca : atasan) kepada jelata, tidak dibuat berdasarkan akar masalah yang sesungguhnya, lantaran para pengambil kebijakan tidak memahami sosiologi masalah, yakni peta-peta sosial di seputar pekerja.
Kondisi itu diperparah dengan komunikasi pilih kasih yang tak kenal kasih. Bekerja di media bagaimana pun mepunyai dua bagian, antara redaksional dan perusahaan punya tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Pun demikian, bukan berarti satu bagian harus melihat bagian lainnya sebagai si berkuasa yang bersuara angin-anginan bahkan lantang dengan suara semau gue. Padahal nyatanya, bila satu bagian pincang, bagian lain akan terseret, tertatih-tatih dalam imbasnya.
Menyatukan dua bagian yang beda tentu susah, air dan minyak tetap tak kan wujud jadi satu. Begitu juga dengan manajemen dan redaksional. Tapi kawan saya itu berharap, setidaknya janganlah yang satu mengangap dirinya terlalu dominan sehingga memandang bagian lain dengan lirik mata resesif.
Gawatnya lagi, ketika sub bagian dari bagian yang satunya saling menambah masalah, bukan menyelesaikannya untuk menyatukan dua bagian tadi. Jadilah sepihan-serpihan masalah itu berjubel, sementara solusi penyelesaiannya minim.
Inilah mungkin yang disebut sebagai bentuk ketidakpahaman atau pura-pura tidak paham terhadap masalah. Lalu, membuat masalah dan pemecah masalah menjadi dua hal yang berjauhan, bahkan tak berkaitan sama sekali.
Kawan saya itu bilang sebenarnya bisa dikaitkan kalau saja, orang yang ditunjuk menyelesaikan masalah tidak pecah dengan beragam serpihan masalahnya sendiri, yang membuat sepele jadi tangguh sebagai masalah di sini.
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Masalah"
Post a Comment